Ahli Sampaikan Pentingnya Saksi Didampingi Advokat
Terbaru

Ahli Sampaikan Pentingnya Saksi Didampingi Advokat

Permohonan uji materil Pasal 54 KUHAP terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ini dinilai memiliki alasan konstitusionalitas yang kuat.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi sidang pleno MK
Ilustrasi sidang pleno MK

Sidang pengujian Pasal 54 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tidak mengatur saksi mendapat bantuan hukum oleh advokat kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang diajukan Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan Octolin H Hutagalung dan 11 pemohon lainnya ini mengagendakan mendengarkan keterangan ahli para pemohon yakni mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Lies Sulistiani.

Dalam keterangannya, Ifdhal Kasim memaparkan dalam sistem peradilan pidana, advokat berperan membantu tersangka dan terdakwa untuk memahami proses hukum yang dijalaninya, meliputi tahap pra ajudikasi, ajudikasi, dan purna ajudikasi. Advokat juga ikut mengawasi dan membantu penyidik serta penuntut umum menjalani proses menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan semua hak serta jaminan yang diberikan hukum pada tersangka dan terdakwa.

Ifdhal mengingatkan sesuai UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki posisi penting dalam sistem peradilan pidana. Salah satunya untuk menjaga keseimbangan antara besarnya peran penegak hukum seperti polisi dan jaksa dengan keadaan tersangka/terdakwa yang lemah. Karena itu, dibutuhkan advokat yang bebas, kendati dalam praktik penegakan hukum, para advokat kurang mendapat tempat pada perannya tersebut.

“Padahal untuk mencari kebenaran atas bersalah atau tidaknya seorang tersangka atau terdakwa haruslah dilakukan dengan due process. Dalam konteks ini, sistem peradilan pidana juga harus mempertimbangkan kedudukan saksi guna mendapat pendampingan dari advokat berdasarkan pilihannya sendiri,” ujar Ketua Komnas HAM periode 2007–2012 ini, Selasa (6/9/2022) sebagaimana dikutip laman MK.

Baca Juga:

Ia menerangkan mengenai kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, perlindungan terhadap saksi masih sangat minim. Hal yang sering dituntut pada saksi hanyalah kewajiban. Sehingga, kedudukan saksi dapat dikatakan rentan dihadapkan pada tindak pidana berupa membuat keterangan yang melawan dirinya sendiri. Karena itu, pendampingan hukum oleh advokat pada saksi sangat penting. Ifdhal memberi gambaran mengenai wajibnya saksi didampingi oleh advokat pada negara-negara anglo-saxon, utamanya terhadap pada kesaksian yang diberikan justru memberatkan saksi sendiri, yang nanti dapat saja digunakan untuk mendakwa saksi tersebut.

Untuk menghindari hal tersebut, menurut Ifdhal, sudah saatnya sistem peradilan pidana memberi perlindungan yang memadai pada saksi maupun korban, mulai dari saksi korban perkosaan, pelecehan seksual hingga pada saksi yang membuka rahasia organisasi kejahatan. Sistem peradilan pidana tidak lagi bertumpu pada pelaku kejahatan versus negara, tetapi setiap unit yang terlibat di dalamnya diberikan perlindungan yang sama.

“Saya melihat permohonan uji materil Pasal 54 KUHAP terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memiliki alasan konstitusionalitas yang kuat. Maka permohonan Pemohon meminta kepada MK menyatakan Pasal 54 KUHAP konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa sejalan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yakni ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’,” harapnya.

Saling support

Selanjutnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Lies Sulistiani menilai KUHAP yang ada sejak 1981 telah jauh dari perhatian terhadap saksi dan/atau korban, atau subjek terperiksa lain. Saat ini masyarakat Indonesia mulai menyadari betapa pentingnya access to justice bagi pihak-pihak selain tersangka/terdakwa. Access to justice sesungguhnya menjadi hak yang harus dijamin pemenuhannya bukan hanya bagi tersangka/terdakwa, tetapi juga bagi semua pihak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum.

“Para pencari keadilan bukan hanya seseorang dalam kedudukannya sebagai tersangka/terdakwa, melainkan juga mereka yang menjadi korban atau saksi yang terlibat dalam proses peradilan pidana,” kata Lies.

Menurutnya, access to justice tersebut harus dimulai memberi jaminan atas keseimbangan pelaksanaan pendampingan, perlindungan maupun pembelaan terhadap semua pihak yang membutuhkan melalui pembelaan oleh advokat maupun dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban oleh LPSK.

Advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya, dapat terus mendampingi subjek pencari keadilan, baik tersangka/terdakwa, saksi maupun korban dalam seluruh tahapan proses peradilan pidana. Artinya, seorang advokat dapat memberi pendampingan dalam setiap tahapan pemeriksaan dan sejalan dengan fungsi LPSK memberi perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban sejak tahap penyelidikan.

“Karena itu, advokat dan LPSK dalam menjalankan fungsinya saling bersinggungan dan dapat saling men-support dan bersinergi,” kata Lies.

Sebelumnya, para pemohon yang berprofesi sebagai advokat melayangkan uji materi Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. 

Menurut para pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat saat menjalankan profesinya. Sebab, Pasal 54 KUHAP tidak mengatur kata ”saksi” untuk mendapatkan bantuan hukum dan terbatas hanya mengatur bantuan hukum terbatas kepada tersangka dan terdakwa.

Artinya, tidak adanya ketentuan dalam KUHAP yang mengatur hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hak tersebut diberikan semata-mata bentuk perlindungan hukum dan HAM agar tidak menimbulkan potensi seorang saksi mendapatkan tekanan, paksaan, bujuk rayu, ancaman kekerasan baik bersifat fisik maupun psikis saat diperiksa untuk mendapatkan keterangan, informasi. Faktanya, para pemohon beranggapan dalam proses perkara pidana, advokat seringkali dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka, ataupun terdakwa.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan Pasal 54 KUHAP tetap dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang frasa "guna kepentingan pembelaan" bukan hanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa, tetapi termasuk juga saksi.

Tags:

Berita Terkait