Ahli Nyatakan Pajak Ganda Dilarang Konstitusi
Berita

Ahli Nyatakan Pajak Ganda Dilarang Konstitusi

Jika negara salah menempatkan pajak, maka tidak lain sama dengan perampokan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli Nyatakan Pajak Ganda Dilarang Konstitusi
Hukumonline

Ahli Hukum Tata Negara Laica Marzuki berpendapat pengenaan cukai rokok dan pajak rokok secara serempak (pajak ganda) merupakan pungutan pajak yang tidak adil. Akibatnya, warga negara yang dikenakan pajak ganda itu akan mengalami dilema ketidakpastian hukum.

Alasannya, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD) memandang pajak rokok sebagai pungutan atas cukai rokok oleh pemerintah. Tarif pajak rokoknya ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok yang sudah dikenakan cukup tinggi terhadap produk tembakau.   

“Ini maknanya pajak rokok dan dan cukai rokok dua kategori pungutan yang berbeda,” kata mantan hakim konstitusi itu saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan UU PDRD yang diajukan sejumlah aktivis HAM yang mengklaim sebagai perokok di Gedung MK, Selasa (3/9).

Menurut dia, pengenaan pajak ganda (double taxation) terhadap warga negara bertentangan atau dilarang konstitusi. “Berlakunya UU PDRD telah membuat para warga perokok dikenakan pajak ganda yang telah dilarang konstitusi,” ujarnya.

Dijelaskan Laica, pajak yang bersifat memaksa untuk keperluan negara telah diatur undang-undang. Namun, pengenaannya tidak boleh menimbulkan kezaliman bagi warga negara.

“Jika negara salah menempatkan pajak, maka tidak lain sama dengan perampok. Karena pajak tidak boleh menganiaya, pajak tidak boleh menimbulkan kezaliman,” kata mantan hakim konstitusi ini.

Dia menegaskan para perokok berhak atas perlakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil. Selain itu, merokok bagian dari hak dan kebebasan para warga negara seperti dijamin Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.  

“Kontitusi tidak melarang para warganya merokok. Merokok adalah hak konstitusional para warga, sama halnya dengan hak warga negara yang tidak merokok untuk menghirup udara,” jelasnya.

Akan tetapi, faktanya UU PDRD ternyata mengenakan pula pajak rokok bagi pemakai konsumen sigaret setelah sebelumnya dikenakan cukai rokok yang telah diatur UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Uji materi sejumlah pasal dalam UU PDRD terkait penegenaan pajak cukai atas rokok itu dimohonkan oleh lima pemerhati HAM. Mereka adalah, Mulyana Wirakusumah (anggota TIM Penyusun RUU HAM), Hendardi (PHBI), Aizzudin (Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia), Neta S Pane (IPW), dan Bambang Isti Nugroho (Pembela Kaum Miskin).

Para pemohon yang mengklaim dirinya sebagai perokok merasa dirugikan hak konstitusionalnya adanya ketentuan pajak ganda atas pajak cukai atas rokok. Sebab, UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut negara atas produk rokok.

Menurut pemohon Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 UU PDRD yang mengatur beban terhadap cukai rokok yang dikenakan kepada wajib pajak rokok, memicu kenaikan harga rokok begitu tinggi. Hal ini menjadi beban para perokok sebagai pemikul pajak rokok terakhir. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait