Ahli Minta MK Tak Gunakan Original Intent
Pengujian UU Pilpres:

Ahli Minta MK Tak Gunakan Original Intent

Bila menggunakan penafsiran dengan metode original intent, UUD 1945 memang hanya mengakui capres yang diusulkan parpol. Ahli meminta MK untuk menggunakan penafsiran konstitusi yang lain.

Ali
Bacaan 2 Menit
Ahli Minta MK Tak Gunakan <i>Original Intent</i>
Hukumonline

 

Tentang Original Intent

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar tidak boleh semata-mata terpaku kepada metode penafsiran ‘originalisme' dengan mendasarkan diri hanya kepada ‘original intent' perumusan pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi undang-undang dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.

 

Dikutip dari Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006

 

Dalam sebuah kesempatan, Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie pernah berpendapat seputar original intent ini. Menurutnya membaca original intent hanya merupakan salah satu cara memahami konstitusi. Masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk menafsirkan konstitusi. Original intent bukan segala-galanya, ujarnya saat peluncuran Naskah komprehensif perubahan UUD 1945.

 

Refly memang telah melarang para hakim konstitusi melihat original intent dalam perkara ini. Ia menyarankan para hakim untuk menggunakan metode penafsiran tekstual. Yaitu, dengan melihat teks Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 saja. Menurutnya, dalam pasal itu tak ada larangan bagi capres independen untuk ikut pilpres. Pasal 6A ayat (2) tidak menegaskan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, pungkasnya.

Kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 diyakini bisa menjadi hambatan besar bagi Fadjroel Rahman dkk untuk memperjuangkan diakuinya calon presiden (capres) independen ke dalam sistem pemilu Indonesia. Pasal itu menyatakan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol. Lengkapnya, pasal itu berbunyi Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

 

Kuasa Hukum pemohon, Taufik Basari menyadari benar hal ini. Karenanya, dalam sebuah kesempatan, judicial review sejumlah pasal dalam UU Pilpres yang ditanganinya ini, ia sebut sebagai akrobat hukum. Tobas, sapaan akrabnya, berjanji akan meyakinkan para hakim konstitusi bahwa Pasal 6A ayat (2) bukan halangan untuk memuluskan langkah capres independen. Ia menjanjikan akan mengeluarkan beberapa penafsiran hukum untuk membuka cara berpikir para hakim.

 

Janji Tobas itu, mulai diretas hari ini, Rabu (15/10) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang mengagendakan keterangan Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta ahli dari pemohon. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah pengamat Hukum Tata Negara (HTN) serta Pemilu Refly Harun. Latar belakang Refly yang mantan Staf Ahli Hakim Konstitusi diyakini berguna untuk mengetahui cara berpikir para hakim konstitusi. 

 

Awalnya, Refly sedikit merasa sungkan tampil di hadapan para hakim konstitusi. Saya merasa tak enak tampil sebagai ahli di hadapan para guru saya, tuturnya. Namun, itu hanya sebuah pembukaan. Selanjutnya, Refly secara fasih mengemukakan sejumlah penafsiran-penafsiran konstitusi yang dapat digunakan oleh para hakim konstitusi. Seperti penafsiran gramatikal, historis, sosiologis, original intent, dan tekstual.  

 

Refly pun mencoba menafsirkan Pasal 6A ayat (2). Ia mengakui bila menggunakan penafsiran original intent atau melihat risalah perdebatan ketika pasal itu dibuat, maka permohonan kemungkinan besar akan ditolak. Ia mengatakan maksud pembentuk UUD 1945 memang hanya memperbolehkan capres berasal dari parpol. Maklum saja, mereka semua kan dari unsur parpol, tuturnya.

 

Namun, Refly meminta agar majelis hakim konstitusi tidak terpaku pada penafsiran original intent saja. Banyak cara menafsirkan konstitusi, ujarnya. Refly mengaku hanya sedang mengingatkan para majelis hakim. Ia meyakini mereka sudah sangat paham bahwa tafsir original intent bukan satu-satunya penafsiran. Ia mengutip pendapat MK seputar original intent dalam Putusan Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.

Tags: