Ahli: Wewenang Penyidikan OJK Tak Simpangi Sistem Peradilan Pidana
Berita

Ahli: Wewenang Penyidikan OJK Tak Simpangi Sistem Peradilan Pidana

OJK di berbagai negara memiliki kewenangan yang sama dengan OJK di Indonesia yang berfungsi sebagai pengawas dan penyidik juga. Seperti OJK di Jepang, Inggris, dan Jerman.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menilai kewenangan penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, tidak bertentangan dengan criminal justice system. Pandangan ini disampaikan Chairul Huda saat menjadi ahli pemerintah di sidang lanjutan pengujian UU OJK dengan perkara No. 102/PUU-XVI/2018, Selasa (12/3/2019). 

 

Huda menganggap UU OJK merupakan UU administratif, namun memuat juga aturan pidana. Hal ini istilahnya dikenal sebagai hukum pidana administratif. Huda menegaskan dalam KUHAP diakui adanya penyidik di luar lembaga Polri yakni Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

 

“KUHAP merupakan grand design dari Criminal Justice System. Sehingga adanya kewenangan penyidik oleh PPNS dan Polri yang ada di OJK tidak bertentangan dengan Criminal Justice System itu sendiri,” ujar staf ahli hukum acara pidana ini seperti dikutip dari laman MK. Baca Juga: Ahli Sebut Wewenang Penyidikan OJK Aneh

 

Dia melanjutkan konsep OJK sebagai lembaga pengawas keuangan yang terintegrasi. Di mana terdapat kewenangan hukum administrasi dan juga hukum pidana yang ada di OJK.  Bagi Pemohon ini dianggap aneh dan tidak dikenal dalam konsep hukum. Meski demikian, dirinya tidak sepakat dengan pandangan Pemohon tersebut.

 

“Dalam hukum ada teori Total Law Enforcement. Artinya hukum administrasi berada sebagai awalan, hukum perdata sebagai pertengahan, serta hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penegakan hukum. Artinya, OJK bisa dilihat sebagai Integrated Law Enforcement.”

 

Huda juga mengomentari tentang kewenangan OJK yang dapat melimpahkan perkara ke Kejaksaan. Pemohon merujuk pada KUHAP yang menempatkan Polri sebagai Korwas pelimpahan perkara. Meski demikian, seiring perkembangan yang dinamis, UU Bea Cukai, UU Pajak, dan UU Imigrasi mengatur PPNS dapat melakukan pelimpahan perkara ke kejaksaan.

 

“Jadi Pemohon mesti melihat tidak dari KUHAP saja. Namun perkembangan aturan pasca KUHAP lahir yang dapat dilihat juga sebagai Criminal Justice System,” jelasnya.

 

Dengan kata lain, kata dia, UU sejenis yang lain tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan, di RUU KUHAP nantinya akan mengatur kalau Korwas tidak hanya Polri saja, namun juga PPNS serta Penyidik Lembaga. Sehingga pelimpahan perkara ke Kejaksaan tidak melulu merupakan domain Polri semata.

 

Terakhir, Huda menegaskan UU OJK merupakan open legal policy pemerintah. Di mana pandangan pemerintah dirasa lebih efektif jika mengumpulkan seluruh kewenangan pengawasan keuangan pada satu lembaga. Karena itu, tidak bisa dinilai UU OJK ini inkonstitusional.

 

Ahli pemerintah lain, Prof Denny Indrayana menilai dalam konteks tata negara bisa suatu lembaga independen memiliki mix function. Misalkan fungsi pengawasan dan penyidikan terdapat dalam satu lembaga, tetapi tetap ada pembatasan juga. Yakni fungsi penegakan pidana tidak dicampurkan dengan kekuasaan kehakiman.

 

“OJK di berbagai negara memiliki kewenangan yang sama dengan OJK di Indonesia. Yakni berfungsi sebagai pengawas dan penyidik juga. Contohnya di Jepang, Inggris, dan Jerman,” ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM ini.

 

Permohonan ini diajukan sejumlah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Surakarta, yakni Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitasari, Bintara Sura Priambada, Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan” dalam kedua pasal tersebut.

 

Para Pemohon menilai kewenangan penyidikan PPNS OJK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari proses pemanggilan, pemeriksaan, meminta keterangan, penggeledahan hingga pemblokiran rekening bank, apabila tidak sesuai dengan KUHAP dan tidak berkoordinasi dengan kepolisian.

 

Bagi Pemohon, original intent dibentuk OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan (supervisi) jasa keuangan perbankan dan nonperbankan, bukan menjalankan fungsi penegakkan hukum.  Selain itu, wewenang penyidikan OJK dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 9 huruf c jo Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU OJK terkait PPNS OJK dapat meminta bantuan penyidik Polri, overlapp dan inharmoni terhadap Pasal 7 ayat (1) KUHAP, dimana PPNS diberi wewenang tersendiri oleh UU. Seharusnya wewenang penyidikan OJK ini selalu di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri.

 

Karena itu, para pemohon meminta kepada Mahkamah menyatakan kata “penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, Pemohon minta wewenang penyidikan pada OJK dihapus atau dicabut, sehingga tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyidik.   

Tags:

Berita Terkait