Ahli: Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Sudah Ditentukan Pembentuk UU
Terbaru

Ahli: Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Sudah Ditentukan Pembentuk UU

Adanya frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 itulah yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU. Dalam hal ini melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan Pasal 13 huruf a UU KY.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi sidang pleno MK
Ilustrasi sidang pleno MK

Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 telah menentukan Komisi Yudisial (KY) bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun, dalil permohonan yang menyatakan kewenangan KY tersebut tidak diatur secara tegas dalam Pasal 24B UUD Tahun 1945, bukan berarti ketentuan tersebut menjadi belenggu bagi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.

Cara pandang yang terlalu sempit dalam batas-batas tertentu justru akan menimbulkan kemacetan dan kemandekan penyelenggaraan pemerintahan negara, pelayanan publik, ataupun penegakan hukum di masyarakat karena harus menunggu adanya amendemen UUD Tahun 1945. 

Demikian disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Ni’matul Huda saat dihadirkan oleh KY sebagai ahli dalam sidang lanjutan Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman secara daring, Selasa (21/9/2021). Beleid ini mengatur kewenangan KY mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA) kepada DPR untuk mendapat persetujuan.  (Baca Juga: MK Diminta Tolak Pengujian Pasal Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA)

Ni’matul Huda melanjutkan kewenangan KY yang diatur Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya mengusulkan hakim agung dan tidak memiliki kewenangan mengusulkan hakim lain selain hakim agung. Dia mengakui ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan lagi selain bunyi teks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Jabatan hakim dalam konsepsi UUD Tahun 1945 adalah jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri yaitu KY.

“Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan imparsial diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika,” kata Ni’matul Huda seperti dikutip laman MK.   

Meskipun KY tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD Tahun 1945 BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, keberadaan KY tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Ni’matul Huda menjelaskan Pasal 25 UUD Tahun 1945 syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Ketentuan ini secara atributif memberi kewenangan kepada pembentuk UU (DPR dan pemerintah) untuk mengatur seluk-beluk terkait rekrutmen dan pemberhentian hakim. Misalnya seperti yang tertera dalam Pasal 13 huruf a UU KY yang berbunyi, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan”. 

Menurutnya, pembentuk UU memiliki kewenangan mengatur bagaimana rekrutmen hakim, termasuk hakim ad hoc MA dengan melihat kebutuhan di masyarakat dan tuntutan adanya kualitas, kapasitas, dan profesionalitas hakim yang harus memiliki standar yang terukur dan pasti sebagaimana yang sudah dilakukan KY selama ini dalam melakukan seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc MA.  

Adanya frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 itulah yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU. Dalam hal ini melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan Pasal 13 huruf a UU KY. “Dengan demikian, kehadiran KY dalam sistem seleksi hakim ad hoc di MA sudah ditentukan legalitasnya melalui UU No.18 Tahun 2011, bukan kreasi kebijakan yang dibuat sendiri oleh KY,” kata dia.

Hal senada disampaikan ahli yang dihadirkan oleh KY lainnya yakni Sidharta. Ia mengatakan frasa “hakim ad hoc” yang muncul pada Pasal 13 huruf a UU KY tidaklah berinduk pada kewenangan pada objek norma pertama. Frasa hakim ad hoc itu harus dicermati berinduk pada objek norma kedua yaitu KY mempunyai wewenang lain.

“Apa wewenang tersebut? Tidak disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945. Sekalipun tidak disebutkan, Pasal 24B ayat (1) membingkainya dengan dua kondisi, kondisi norma, ya. Pertama, kondisi bahwa KY harus bersifat mandiri menjalankan kewenangan itu. Kedua, kondisi kedua objek norma itu harus dijalankan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,” kata Sidharta.  

Menurutnya, kondisi norma yang pertama mengkondisikan subjek normanya. Sementara kondisi norma yang kedua mengkondisikan dua objek norma itu bersama‑sama. Sebab, kondisi norma yang kedua ini menggunakan frasa, “…serta perilaku hakim”, bukan dibatasi hanya hakim agung. Artinya, kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung itu harus dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 

Begitu juga dengan kewenangan lain di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Ia menjelaskan kewenangan ini pun sama yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Menurut Sidharta, Pemohon hanya berfokus pada objek norma yang pertama, bukan pada objek norma yang kedua. 

“Pandangan demikian tidak tepat karena jika demikian halnya, maka semua kewenangan yang dimiliki oleh KY di luar wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, harus juga dianggap sebagai perluasan makna,” lanjutnya.  

Menurutnya, tidak ada argumentasi yang telah menjustifiklasi bahwa KY dalam menjalankan kewenangannya itu telah melampaui batas kekuasaan publiknya. Ketidaklayakan itu berangkat pula dari catatan tambahan bahwa sistem atau proses seleksi hakim ad hoc di MA pada hakikatnya juga tidak langsung berkaitan dengan kepada siapa wewenang pengusulan pengangkatan itu diberikan. Artinya, tidak ada jaminan jika nanti penyeleksian dilakukan hanya oleh MA, maka seleksinya akan menjadi lebih sederhana.

Permohonan ini diajukan oleh Burhanudin, dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) pada 2016. Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”.

Bagi pemohon, menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan hakim ad hoc bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman.

Berlakunya Pasal 13 huruf a UU KY, secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim agung dengan hakim ad hoc di MA yang memiliki perbedaan baik secara struktural, status, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan. Karena itu, pemohon meminta MK Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. 

Tags:

Berita Terkait