Ahli: Wewenang Pemutusan Akses Internet Seharusnya dengan Beschikking
Berita

Ahli: Wewenang Pemutusan Akses Internet Seharusnya dengan Beschikking

Kewenangan Pemerintah memutus akses Internet atau informasi dokumen elektronik bersifat terbatas pada konten yang dilarang dan melanggar hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi sidang MK. BAS
Ilustrasi sidang MK. BAS

Kewenangan Pemerintah memutus akses terhadap informasi atau dokumen elektronik sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2b) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terbatas yang memiliki muatan yang dilarang. Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara elektronik memutus akses informasi atau dokumen yang memiliki muatan yang melanggar hukum, tapi bersifat terbatas.

“Jadi tidak bisa secara keseluruhan, jadi ada batasannya. Walaupun UU ITE ini tidak menjelaskan secara lebih spesifik bagaimana muatan yang melanggar hukum itu dan seterusnya, dan juga prosesnya,” ujar Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Oce Madril sebagai ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU ITE, Selasa (15/11/2020) kemarin seperti dikutip laman MK. Permohonan ini diajukan Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Oce menilai Pasal 40 ayat (2b) UU ITE memuat wewenang dalam jenis perbuatan hukum. Perbuatan hukum ini berkaitan dengan memutus akses, dokumen, atau informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum dan akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak tertentu yang aksesnya dibatasi atau diputus oleh Pemerintah. Menurutnya, kewenangan ini adalah perbuatan hukum melalui penerbitan sebuah keputusan tertulis atau beschikking. 

“Karena jenis kewenangan ini adalah rechtshandelingen, semestinya penggunaan kewenangan itu dengan cara penerbitan sebuah keputusan atau beschikking. Sebab, pelaksanaan wewenang ini dapat menimbulkan hak dan kewajiban, serta memiliki konsekuensi hukum atau dampak hukum tertentu bagi pihak-pihak individu atau badan hukum,” ujarnya. (Baca Juga: Pandangan Pemerintah atas Uji Aturan Pemblokiran Internet dalam UU ITE)

Dia mengingatkan prosedur sebagaimana tercantum dalam UU Administrasi Pemerintahan menunjukan adanya jaminan terhadap sebuah tata kelola pemerintahan yang baik. “Pengaturan itu untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan juga pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang yang bisa dilakukan oleh pemerintah.”

Potensi Disalahgunakan

Ahli pemohon lain, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Herlambang Perdana Wiratman menilai Pasal 40 ayat (2b) UU ITE memiliki rumusan pembatasan yang tidak jelas. Pertama, standar acuan pembatasannya. Kedua, wewenang yang melekat di penyelenggaraan penyelenggara pemerintahan. Ketiga, bagaimana upaya menyelesaikan masalah hukum bila terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang, atau atas pemblokiran konten internetnya?

“Hal ini dinilai dapat menimbulkan praktik penyalahgunaan,” kata Herlambang.

Terlebih, tiadanya rumusan mekanisme dalam realisasi kewajban prescribed by the law, elemen yang pertama, yang mencerminkan tanpa ada batasan dan prinsip-prinsip prediktabilitas dan transparansi dalam suatu keputusan administratif, berpotensi dalam praktiknya terjadi penyalahgunaan wewenang dan ini mencederai prinsip negara hukum. “Pembatasan atas hak internet tersebut harus dilakukan secara jelas standar hukumnya atau due process of law sesuai prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.”

Sebelumnya, pemohon AJI Indonesia dan Redaksi Suara Papua merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki pemerintah sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberi kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum. 

Pasal 40 ayat (2b) UU ITE menyebutkan “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”

Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, kewenangan pemerintah melakukan pemutusan akses adalah bentuk pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi.

Kewenangan ini pula, menurut para pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal ini sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. Para pemohon menilai kewenangan pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum bertentangan dengan ketentuan due process of law.

Selain itu, para pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi.

Hal ini membuat mempersulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada pemerintah melalui lembaga peradilan.  Berdasarkan alasan itu, para pemohon meminta kepada Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait