Ahli: UU Penodaan Agama Justru Lindungi Umat Beragama
Berita

Ahli: UU Penodaan Agama Justru Lindungi Umat Beragama

Sejak lama ajaran Ahmadiyah sudah difatwakan sebagai ajaran sesat oleh otoritas lembaga Islam baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dicecar PBB soal kebebasan beragama. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pemerintah dicecar PBB soal kebebasan beragama. Foto: ilustrasi (Sgp)

Wakil Ketua PP Muhammadiyah Bidang Kajian HAM Manajer Nasution menilai Pasal 1, Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal (3) dan beberapa pasal lain dalam UU No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang bentuk kehadiran negara untuk melindungi dan menjaga kerukunan umat beragama.

 

“UU Penodaan ini telah mengandung nilai-nilai keseimbangan antara apa yang disebut dengan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban HAM,” ujar Manajer saat dimintai pandangannya sebagai ahli yang diajukan pihak terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung MK, Selasa (23/1/2018). (Baca Juga: Dianggap Sesat, Jamaah Ahmadiyah Minta ‘Pengakuan’ ke MK)      

 

Dia mengingatkan Indonesia sebagai negara Pancasila berdasarkan UUD Tahun 1945 yang berketuhanan yang maha esa, negara wajib melindungi dan menjaga ketertiban antar umat beragama, serta saling menghormati kebebasan antar umat beragama yang rukun hidup berdampingan. Namun, kebebasan beragama bukanlah kebebasan penuh tanpa batasan dengan cara menistakan agama tertentu.

 

Menurutnya, sebenarnya melalui UU Penodaan ini negara telah menjamin perlindungan relasi antar umat beragama. Namun, sesuai putusan MK dan konstitusi konsep HAM terkait kebebasan beragama ini tidak menganut asas kemutlakan HAM yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945.

 

“Karena itu, memohon kepada Mahkamah untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya karena pasal-pasal dalam UU Penodaan Agama itu tidaklah bertentangan HAM dan UUD Tahun 1945,” harapnya.

 

Ahli MUI lainnya, Komisi Fatwa MUI Aminuddin Yakub mengingatkan MUI sudah sejak lama melarang ajaran Ahmadiyah melalui Fatwa Munas MUI IV tahun 2005 yang menguatkan Fatwa Munas MUI II Tahun 1980. Dalam fatwa itu, ajaran Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam yang menyimpang, sesat dan menyesatkan dan menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad.

 

Di luar fatwa MUI, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah tahun 1962 memfatwakan kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah; Keputusan Bahtsul Mashil NU di Lirboyo tahun 2005 menegaskan keputusan NU sebelumnya tentang kesesatan Ahmadiyah; fatwa Persis (Persatuan Islam) di Bandung tahun 1934; dan fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

 

Menurutnya, fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah bukan saja ditetapkan dalam beberapa fatwa di Indonesia, tetapi juga fatwa lembaga di dunia Islam (ijma’ al-majami’). Misalnya, keputusan Pemerintah Pakistan pada 26 April 1984 berdasarkan fatwa ulama dan pengadilan syariah Pakistan, bahwa Ahmadiyah sebagai non-muslim dan dilarang menggunakan istilah dan simbol-simbol Islam. (Baca juga: MUI: UU Pencegahan Penodaan Agama Masih Dibutuhkan)

 

“Selain itu, Fatwa Majmu’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konfrerensi Islam (OKI) No. 4 Tahun 1985 di Jeddah Arab Saudi ditetapkan aliran Ahmadiyah Qodiyaniyah menyimpang dan keluar dari Islam.”

 

Permohonan pengujian pasal-pasal UU Penodaan Agama itu diajukan sembilan anggota Ahmadiyah berbagai daerah. Diantaranya, Anisa Dewi, Ary Wijanarko, Asep Saepudin, Dedeh Kurniasih, Dkk. Intinya, mereka merasa dirugikan hak konstitusionanya lantaran kesulitan beribadah gara-gara menganut aliran/agama Ahmadiyah. Sebab, UU itu melarang ada penyerupaan agama/aliran tertentu dengan agama resmi yang dianut di Indonesia.    

 

Karena itu, pasal-pasal tersebut ditafsirkan secara bersyarat sepanjang aliran atau agama yang ada diakui keberadaannya tanpa meniadakan hak agama (lain) yang telah ada di Indonesia. “Pasal 1, 2, 3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang ada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya,” demikian bunyi petitum permohonannya. 

Tags:

Berita Terkait