Ahli: Sengketa Perbankan Syariah Kewenangan Penuh Pengadilan Agama
Berita

Ahli: Sengketa Perbankan Syariah Kewenangan Penuh Pengadilan Agama

Hakim-hakim agama perlu diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli: Sengketa Perbankan Syariah Kewenangan Penuh Pengadilan Agama
Hukumonline

Pakar Ekonomi Syariah, Muhammad Syafii Antonio berpendapat penyelesaian sengketa perbankan syariah seharusnya menjadi kewenangan penuh pengadilan agama. Hal ini untuk menjamin putusan pengadilan agama yang dihasilkan benar-benar sesuai hukum syariah.

“Kalau kita mau menghormati UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, berilah kewenangan penuh sengketa perbankan syariah kepada pengadilan agama. Termasuk persoalan hipotik (jaminan, red) dan eksekusinya,” kata Syafii, ahli yang dihadirkan MK dalam sidang pengujian Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Kamis (20/12).  

Dijelaskan Syafii, berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006, peradilan agama telah diberi kewenangan mengadili permasalahan ekonomi syariah, perbankan, keuangan dan asuransi yang didasarkan hukum syariah.

“Pengadilan negeri sudah penuh dengan tugas yang lain, biarlah dia konsentrasi mengadili masalah umum. Kalau masalah syariah berikanlah kepada hakim syariah di pengadilan agama,” papar Syafii.  

Sejauh ini, persoalan hipotik dan eksekusi sengketa perbankan syariah masih melibatkan pengadilan negeri untuk melakukan fiat eksekusi. Hal itu tertuang dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Misalnya, kalau terjadi sengketa perbankan syariah, awalnya diselesaikan dengan musyawarah, mediasi perbankan, lembaga abitrase, atau pengadilan negeri.

“Jadi, lebih baik kewenangan pengadilan negeri dihapus saja karena itu yang menjadi pangkal persoalan dalam pengujian undang-undang ini. Ini semuanya dalam rangka penyempurnaan proses penyelesaian sengketa perbankan syariah,” jelasnya.

Apabila pengadilan agama diberi kewenangan penuh dalam memutus sengketa perbankan syariah, menurut Syafii, hakim-hakim agama perlu ditingkatkan pengetahuannya agar mereka mampu memahami ekonomi syariah secara baik.

“Hakim-hakim agama diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai karena produk perbankan dan asuransi syariah semakin banyak dan berkembang, apalagi hukum pasar modal itu akan lebih kompleks lagi,” katanya.

Usai ahli memberi keterangan, Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD mengatakan permohonan pengujian ini akan segera diputus karena tidak ada ahli yang akan diajukan baik oleh pemohon dan pemerintah. “Tetapi, sebelumnya para pihak harus menyerahkan kesimpulan Selasa pekan depan,” kata Mahfud sebelum menutup sidang.

Sebagaimana diketahui, pengujian Pasal 55 ayat (2), ayat (3) UU Perbankan Syariah diajukan seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad. Ia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)-nya dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah harus merupakan kewenangan pengadilan agama.

Sementara ayat (2) membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Hal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya Pasal 55 ayat (2) harus dinyatakan batal.

Pemohon sendiri mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui akad pembiayaan sebagaimana tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli 2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu, disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor.

Tags:

Berita Terkait