Ahli: Profesi Likuidator Seharusnya Setara dengan Kurator
Berita

Ahli: Profesi Likuidator Seharusnya Setara dengan Kurator

Karena tugas likuidator juga sangat kompleks, rumit, dan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang MK. Foto: MK
Suasana sidang MK. Foto: MK

Profesi Likuidator memiliki tugas tanggung jawab yang setara dan sebanding dengan profesi kurator. Karena itu, profesi likuidator harus diatur sama ketatnya dengan profesi kurator. Hal tersebut disampaikan oleh M Hadi Subhan selaku ahli Pemohon dalam sidang uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) terutama mengenai keberadaan dan status profesi likuidator. 

 

“Profesi likuidator memiliki tugas tanggung jawab yang setara dan sebanding dengan profesi kurator. Sementara profesi kurator sangat ketat diatur mengenai syarat pengangkatan, sertifikasi profesi, pengawasan, etika, pertanggungjawaban, dan sanksi. Sementara profesi likuidator tidak atau belum ditentukan demikian,” ujar M. Hadi Subhan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Selasa (6/6/2018) kemarin seperti dikutip laman MK.

 

Hadi mencontohkan profesi likuidator seharusnya tersertifikasi. Namun terjadi contradictio in terminis dalam Pasal 143 UU PT yakni direktur dapat pula diangkat sebagai likuidator. Padahal tugas likuidator sangat kompleks, rumit, dan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan likuidator adalah profesi yang betul-betul harus kompeten dan independen yang semestinya dianggap setara dengan profesi kurator.

 

“Kalau saya gambarkan ada empat tugas likuidator. Pertama, tugas administrasi. Kedua, tugas mencairkan aset. Ketiga tugas membagi-bagikan pada kreditur. Keempat tugas mempertanggungjawabkan pada RUPS. Tugas administrasi macam-macam, misalnya mengumumkan di media, kemudian memberitahukan kepada Kemenkumham, dan sejenisnya,” ujar Subhan. Baca Juga: Pemerintah: UU Perseroan Terbatas Jamin Keberadaan Profesi Likuidator

 

Pakar hukum dari Unair ini membandingkan regulasi profesi kurator yang diatur sangat ketat dalam undang-undang ataupun regulasi di bawah undang-undang, seperti peraturan Menteri Hukum dan HAM. Terutama, terkait syarat pengangkatan kurator, pengawas profesi kurator, etika profesi kurator, pertanggungjawaban kurator, serta sanksi apabila terjadi kesalahan, bahkan kelalaian seorang kurator pun bisa diberikan sanksi.

 

Menurutnya, syarat pengangkatan kurator berasal dari kalangan profesi advokat dan akuntan. Hal ini berarti kurator merupakan profesi yang subspesialis. Jika advokat/akuntan digambarkan sebagai spesialis, lanjutnya, kurator lebih spesialis lagi daripada keduanya. Sebab, seorang kurator harus berasal dari advokat atau harus berasal dari akuntan.

 

Seperti diketahui, permohonan ini diajukan sejumlah anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) yang menguji beberapa pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mereka adalah M. Achsin, Indra Nur Cahya, Eddy Hary Susanto, Anton Silalahi, Manonga Simbolon, Toni Hendarto, Handoko Tomo.

 

Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 142 ayat (2) huruf a, ayat (3); Pasal 143 ayat (1); Pasal 145 ayat (2); Pasal 146 ayat (2); Pasal 147 ayat (1), ayat (2) huruf b; Pasal 148 ayat (2); Pasal 149 ayat (1), ayat (2), ayat (4); Pasal 150 ayat (1), ayat (4); Pasal 151 ayat (1), ayat (2); dan Pasal 152 ayat (1), ayat (3), ayat (7) UU Perseroan Terbatas.

 

Para pemohon telah dirugikan hak konstitusionalitasnya atas berlakunya pasal-pasal tersebut. Hal dikarenakan tidak ada kepastian hukum terkait status hukum profesi yang saat ini dijalaninya. Misalnya, tidak ada batasan dan syarat yang jelas tentang profesi likuidator dalam UU PT. Padahal, likuidator disebut sebanyak 23 kali dalam UU Perseroan Terbatas, sehingga batasan dan syarat profesi likuidator sangat dibutuhkan.

 

Selama ini para likuidator tidak memiliki perlindungan hukum akibat tidak adanya definisi yang jelas apa yang dimaksud likuidator dan tidak ada kewajiban untuk mengikuti pendidikan menjadi likuidator, sehingga mudah diskriminalisasi. Belum lagi, likuidator Indonesia dirugikan karena banyaknya likuidator asing atau lembaga likuidator asing berpraktek likuidasi terhadap perseoran berbadan hukum Indonesia atau asing yang berada di Indonesia.

 

Karena itu, Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 142 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyangkut kata “direksi” bertentangan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional) “likuidator bersertifikasi dan independen.”

 

Sedangkan, Pasal 142 ayat (2) huruf (a); Pasal 143 ayat (1); Pasal 145 ayat (2); Pasal 146 ayat (2); Pasal 147 ayat (1), (2) huruf (b); Pasal 148 ayat (2); Pasal 149 ayat (1), (2), (4); Pasal 150 ayat (1), (4); Pasal 151 ayat (1), (2); dan Pasal 152 ayat (1), (3), (7) UU Perseroan Terbatas sepanjang menyangkut kata “likuidator” bertentangan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai setiap orang warga negara Indonesia yang memiliki sertifikat keahlian likuidasi, kompeten, dan independen untuk melaksanakan wewenang menyelesaikan urusan likuidasi/pembubaran perseroan,” demikian bunyi petitum permohonannya.

 

Sebagai informasi, para pemohon yang tergabung dalam PPLI yang didirikan pada 2016 ini telah melaksanakan rangkaian pendidikan dan pelatihan untuk memberi pemahaman dan pengetahuan yang mendalam demi terciptanya kompetensi dan profesionalitas likuidator. PPLI juga telah memfasilitasi likuidator hingga menjadikannya sebagai profesi. Hanya saja, tidak seperti profesi advokat yang memiliki kejelasan definisi dan persyaratan profesi.

Tags:

Berita Terkait