Ahli: Pengeluaran Sektor BBM Picu Defisit
Berita

Ahli: Pengeluaran Sektor BBM Picu Defisit

FNH
Bacaan 2 Menit
Keputusan pemerintah naikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebijakan yang masuk akal. Foto: Sgp
Keputusan pemerintah naikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebijakan yang masuk akal. Foto: Sgp

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rudi Rubiandini, mengatakan keputusan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)  merupakan kebijakan yang masuk akal. Hal ini diungkapkan Rudi yang diajukan pemerintah sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi terhadap UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), Rabu (27/6), di Gedung MK.


Rudi membantah jika ongkos produksi minyak hanya sebesar Rp500 seperti yang dikatakan oleh saksi ahli dari pemoon uji materi.  Berdasarkan perhitungannya, pendapatan minyak Indonesia adalah sebesar Rp572 triliun sementara pengeluaran sebesar Rp586 triliun. Defisit ini akan menjadi besar jka pemerintah tidak menaikkan harga BBM sementara harga minyak dunia mengalami peningkatan tiap tahunnya.


Namun, ia menerangkan jika dilihat dari nota keuangan APBN 2012, pemasukan dari sektor migas lebih besar dari subsidi yang dikeluarkan, yakni sebesar Rp220,4 triliun. Sedangkan pemerintah  mengeluarkan subsidi untuk sektor energi sebesar Rp123,4 triliun. "Sayangnya, pendapatan dari sektor migas tidak hanya digunakan untuk sektor migas saja, tetapi juga untuk pembiayaan pemerintahan sehingga pendapatan sektor migas menjadi tidak mencukupi," kata Rudi.


Seperti diketahui, pengujian UU Migas ini diajukan oleh 32 tokoh dan 10 ormas keagamaan diantaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, manjtan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PBNU Achmad Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris serta Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat.

Para pemohon menilai UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara karena membuka liberalisasi pengelolaan Migas yang didominasi oleh pihak asing hingga 89 persen dan berupaya untuk mencabut subsidi BBM.


Salah satu pemohon uji materi UU Migas, Din Syamsudin, menanggapi kesaksian dari Wamen ESDM tersebut. Menurutnya, pemerintah malas untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran terkait dengan ketersediaan bahan bentah minyak Indonesia. Ia juga mempertanyakan mengapa produksi bahan bentah minyak sebesar 580 ribu barel  perhari tersebut tidak diusahakan untuk dijadikan BBM.


“Menurut para ahli, dengan tambahan BBM sebesar 600 ribu perbarel saja akan mengurangi harga BBM, jadi tidak perlu ada kenaikan harga BBM,” ujarnya.


Selain itu, ia mengkritisi mengapa pemerintah berbahagia menjadi net importir. Padahal menurut informasi yang Din dapatkan, ketersediaan migas di Indonesia masih cukup tinggi. Harusnya, lanjut Din, pemerintah dapat berusaha memproduksi BBM 1200 ribu barel per hari sehingga pemerintah tidak banyak mengimpor dari luar.


Bahkan, kata Din, ada kemungkinan terjadinya mark up pada saat impor BBM. Buktinya, adanya keberadaan anak perusahaan PT. Pertamina di luar negeri yang tidak dapat disentuh oleh Badan Pemerikas Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Untuk itu, Muhammadiyah dan sejumlah elemen menilai bahwa ini ini adalah salah satu cara untuk meruntuhkan kedaulatan negara. Apalagi, UU Migas ini memberikan ruang kepada pemerintah untuk mencabut subsidi BBM. Memang,  pemerintah dapat memberikan alasan-alasan terkait hal ini dan menyatakan argument paling nasionalisme tetapi fakta memperlihatkan bahwa dunia migas negara sangat dikuasai oleh asing.


“Dan kita belum berdikari di bidang ekonomi padahal kita adalah negara kaya,” pungkasnya.

Tags: