Ahli: DPR Tak Berwenang Seleksi Hakim Agung
Berita

Ahli: DPR Tak Berwenang Seleksi Hakim Agung

DPR seharusnya hanya menyetujui atau tidak terhadap CHA yang diajukan KY.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli: DPR Tak Berwenang Seleksi Hakim Agung
Hukumonline

Pakar Hukum Tata Negara Prof Saldi Isra berpendapat proses pemilihan hakim agung yang melibatkan DPR dianggap tidak tepat karena sangat memungkinkan adanya benturan kepentingan dalam menentukan siapa yang terpilih.

“Bagi sebagian orang (calon hakim agung) proses politik di DPR itu menakutkan. Kalau objektivitasnya tinggi sih tidak masalah. Yang pasti ketika masuk ke DPR, soal kepentingan menjadi menonjol,” kata Guru Besar Universitas Andalas Padang itu saat memberi keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU MA dan KY di Gedung MK, Kamis (16/5).

Saldi menilai banyak calon hakim agung (CHA) pilihan KY yang memiliki integritas dan ideologi hukum yang sangat baik, tetapi tak lolos tahapan seleksi di DPR. Terpentalnya para CHA yang baik ini disebabkan karena hukum memberi ruang bagi DPR untuk memilih CHA menjadi hakim agung.

Hal itu terlihat aturan 3 banding 1 (memilih satu dari tiga kandidat) dalam memilih hakim agung oleh DPR dalam UU MA dan KY. Padahal kalau dilihat, dalam konstitusi kewenangan DPR hanya sebatas pada persetujuan. “Kewenangan persetujuan ini diperbesar melalui kedua UU itu dengan cara memilih hakim agung,” kata Saldi

Menurut dia mekanisme pemilihan hakim agung oleh DPR merupakan bagian dari check and balances dirasakan sangat tidak tepat. Sebab, mekanisme check and balances hanya dilakukan dengan dua lembaga negara yang setara.  Sehingga, tak beralasan bagi DPR untuk memilih hakim agung.

“Apalagi, sudah jelas dalam konstitusi KY dibuat secara khusus untuk menseleksi hakim agung.”

Jika KY hanya mengirimkan CHA sebanyak kuota hakim agung yang dibutuhkan, tanpa adanya peraturan 3 banding 1, DPR tetap bisa melakukan pendalaman. Sepanjang pendalaman itu seputar integritas dan ideologi hukum, tidak di luar itu.

“Jadi menurut saya, kemungkinan dalam memilih hakim agung oleh DPR hanya dua yakni setuju atau tidak, itu saja,” ujar ahli yang diajukan pemohon ini.

Senada dengan Saldi, Dosen Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan praktik pemilihan hakim agung dalam UU MA dan KY telah bergeser dari paradigma UUD 1945. Sudah jelas jika dilihat secara tekstual, makna persetujuan berarti hanya menyetujui atau tidak setuju terhadap CHA yang diusulkan KY.

Menurutnya, problem mendasar terletak pada aturan 3 banding 1 dalam memilih hakim agung. “Adanya Pasal yang mengatakan DPR memilih 1 dari 3 kandidat yang diusulkan KY, lalu muncul paradigma kata dipilih. Inilah bentuk penyimpanan dari UUD 1945 yang menyebut persetujuan,” jelas Zainal dalam ruang persidangan.

Untuk diketahui, sejumlah LSM, seorang calon hakim agung (CHA) Syafrinaldi, tiga CHA Made Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo mempersoalkan kewenangan DPR untuk memilih seleksi calon hakim agung seperti termuat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY.

Menurut mereka, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya berbunyi ‘DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.’

Keberadaan pasal-pasal dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional para pemohon untuk menjadi hakim agung. Alasannya, sudah jelas dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan kalau kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui, bukan memilih hakim agung. Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan makna memilih sebagai menyetujui sesuai Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. 

Tags: