Ahli: DPR Tak Berwenang Seleksi Hakim Agung
Berita

Ahli: DPR Tak Berwenang Seleksi Hakim Agung

DPR seharusnya hanya menyetujui atau tidak terhadap CHA yang diajukan KY.

ASH
Bacaan 2 Menit

Senada dengan Saldi, Dosen Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan praktik pemilihan hakim agung dalam UU MA dan KY telah bergeser dari paradigma UUD 1945. Sudah jelas jika dilihat secara tekstual, makna persetujuan berarti hanya menyetujui atau tidak setuju terhadap CHA yang diusulkan KY.

Menurutnya, problem mendasar terletak pada aturan 3 banding 1 dalam memilih hakim agung. “Adanya Pasal yang mengatakan DPR memilih 1 dari 3 kandidat yang diusulkan KY, lalu muncul paradigma kata dipilih. Inilah bentuk penyimpanan dari UUD 1945 yang menyebut persetujuan,” jelas Zainal dalam ruang persidangan.

Untuk diketahui, sejumlah LSM, seorang calon hakim agung (CHA) Syafrinaldi, tiga CHA Made Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo mempersoalkan kewenangan DPR untuk memilih seleksi calon hakim agung seperti termuat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY.

Menurut mereka, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya berbunyi ‘DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.’

Keberadaan pasal-pasal dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional para pemohon untuk menjadi hakim agung. Alasannya, sudah jelas dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan kalau kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui, bukan memilih hakim agung. Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan makna memilih sebagai menyetujui sesuai Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. 

Tags: