Ahli: Dewan Pengawas Hancurkan Independensi KPK
Berita

Ahli: Dewan Pengawas Hancurkan Independensi KPK

Menurut Denny, Dewan Pengawas senyatanya harus dimaknai sebagai masuknya kontrol, terutama kontrol eksekutif dalam tubuh KPK.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk beberapa permohonan kembali digelar. Sidang kali ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan mendengarkan keterangan beberapa ahli yang diajukan para pemohon.

 

Salah satu ahli yang dihadirkan pakar hukum tata negara Prof Denny Indrayana. Mengawali paparannya, Denny mengatakan semangat antikorupsi menjadi landasan lahirnya perubahan konstitusi yang membawa pada era reformasi. “Sangat jelas, semangat antikorupsi mewarnai perubahan konstitusi kita. Karenanya ruh antikorupsi ditiupkan dalam UUD 1945,” ujar Denny di ruang sidang pleno MK, Rabu (12/2/2020) seperti dikutip laman MK.

 

Menanggapi sejumlah permohonan pengujian Perubahan UU KPK, Denny menilai independensi merupakan salah satu roh KPK. Karena itu, kata Denny, kehadiran organ Dewan Pengawas KPK dalam revisi UU KPK, salah satu persoalannya terletak pada bagaimana hal-hal tersebut menghancurkan prinsip independensi KPK.

 

“Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan, dan lain-lain, menurut kami sudah masuk dalam tataran yang merusak independensi KPK,” kata  Denny sebagai Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019 yang dimohonkan 25 advokat. Baca Juga: Tak Miliki Kedudukan Hukum, Pengujian Perubahan UU KPK Kandas

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menilai model semacam dewan pengawas tidak ditemukan dalam praktik penegakan hukum di negara-negara lain. Sedangkan, revisi UU KPK dengan berbagai perubahan, menurut Denny, senyatanya harus dimaknai sebagai masuknya kontrol, terutama kontrol eksekutif dalam tubuh KPK.

 

“Kami berpandangan, revisi UU KPK tidak terkecuali tentang Dewan Pengawas harus betul-betul dilihat dengan cermat dan lebih dalam dari sekedar teks. Apakah ini legal policy, open legal policy atau bukan?” kata Denny.

 

Tantangan sangat berat

Sementara Mantan Ketua KPK M. Busyro Muqoddas menilai pemberantasan korupsi menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama setelah berlakunya Perubahan UU KPK. “Politik hukum pembentukan KPK diawali reformasi, tidak hanya diharapkan untuk memberantas korupsi, tetapi juga menjadi jawaban bahwa Indonesia sedang menghadapi kejahatan yang luar biasa. Karena itu, upaya pemberantasannya tidak bisa dilakukan dengan cara yang biasa, tapi dengan cara luar biasa,” kata Busyro.

 

Diungkapkan Busyro, pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara intensif, profesional, dan berkesinambungan karena merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan nasional, serta memiskinkan rakyat secara terstruktur, masif dan sistematis. “Dalam rangkaian ketatanegaraan yang kontemporer, KPK sebagai lembaga independen kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif,” kata Busyro sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Fathul Wahid dkk.

 

Sedangkan Ridwan menerangkan dari perspektif hukum administrasi. “Izin dalam konteks hukum administrasi adalah organ pemerintah berdasarkan peraturan perundangan yang disyaratkan untuk satu aktivitas memerlukan pengawasan khusus,” kata Ridwan yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

 

Dilihat dari perspektif ilmu yang dikuasainya, Ridwan menyebut KPK adalah institusi yang dibentuk melalui UU yang dalam pembentukannya dilekati wewenang. Untuk menjalankan wewenang tersebut, diperlukan fungsionaris yang akan melaksanakan wewenang pada jabatan itu, diantaranya Dewan Pengawas KPK.

 

“Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK berada dalam satu institusi yang kedua-duanya bertindak untuk dan atas nama institusi KPK, yang ada pembedaan mengenai fungsinya. Pembedaan itu secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang,” ujar Ridwan yang juga Ahli Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019.

 

Seperti diketahui, pengujian Perubahan UU KPK ada sekitar enam permohonan. Permohonan pertama diajukan 25 orang yang berprofesi sebagai advokat yang mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK. Pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian materiil terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a UU ini terkait konstitusionalitas keberadaan Dewan Pengawas KPK.

 

Permohonan kedua, diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang berprofesi sebagai pengacara. Dia merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat menjalankan fungsinya, antara lain fungsi legislasi yang tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab.  

 

Gregorius menilai proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK dapat dikatakan telah dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan atau meminta masukan masyarakat luas. Karena itu, dalam petitum permohonannya, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan proses pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Baca Juga: 25 Advokat Perkuat Alasan Uji UU KPK

 

Sementara permohonan ketiga diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid; Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII); Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII); Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII); dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Mereka telah mendaftarkan permohonan uji formil dan materil terhadap Perubahan UU KPK ke MK pada 7 November 2019 lalu.

 

Permohonan keempat diajukan Tiga Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang resmi melayangkan judicial review atas UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ke MK. Permohonan ini didukung mantan Pimpinan KPK yakni M. Jasin, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Juru Bicara KPK Betti S Alisjahbana, dan sejumlah tokoh diantaranya Mayling Oey, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad yang juga tercatat sebagai Pemohon. 

 

Pengujian Perubahan UU KPK ini selain uji formil, juga mengajukan uji materil. Untuk uji formil, proses pengesahan revisi UU KPK terdapat beberapa kejanggalan, sehingga UU ini minta dibatalkan. Untuk uji materil, salah satunya ada pertentangan (kontradiksi) Pasal 69 D dan Pasal 70 C Perubahan UU KPK itu. Bahkan, sebenarnya ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat komisioner KPK, apakah 40 tahun atau 50 tahun?

 

Kelima, diajukan 12 orang Pemohon yang terdiri atas advokat, aktivis antikorupsi, dan mahasiswa hukum. Mereka memohon pengujian Pasal 12B ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 12C ayat (1); Pasal 21 ayat (1); Pasal 37A ayat (3); Pasal 37B ayat (1) huruf b; Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 69A ayat (1) dan ayat (4) UU KPK terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas KPK. Intinya, UU No. 19 Tahun 2019 ini dinilai berpotensi melanggar prinsip negara hukum dan independensi proses peradilan.

 

Keenam, Perkara Nomor 71/PUU-XVI/2019 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. Mereka menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh undang-undang a quo justru menyimpang dari sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Tags:

Berita Terkait