Agenda Parpol Masih Rendah Soal Pengelolaan SDA
Berita

Agenda Parpol Masih Rendah Soal Pengelolaan SDA

Masyarakat diingatkan untuk memilih partai politik atau caleg yang berpihak terhadap kelestarian lingkungan.

FAT
Bacaan 2 Menit
Kurniawan Zen (kiri), Andrinof Chaniago (tengah) dan Nyoman Iswarayoga (kanan) dalam acara peluncuran hasil survei persepsi masyarakat terhadap isu lingkungan dan partai politik dalam Pemilu 2014, Jakarta (10/02). Foto: RES
Kurniawan Zen (kiri), Andrinof Chaniago (tengah) dan Nyoman Iswarayoga (kanan) dalam acara peluncuran hasil survei persepsi masyarakat terhadap isu lingkungan dan partai politik dalam Pemilu 2014, Jakarta (10/02). Foto: RES
Salah satu penyumbang terbesar dari bencana yang terjadi di Indonesia adalah rusaknya lingkungan. Hal ini pula yang mendasari WWF Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) untuk melakukan survei persepsi masyarakat terhadap isu lingkungan dan preferensi partai politik.

Hasil survei WWF Indonesia menunjukkan bahwa agenda partai politik (parpol) di Indonesia masih sangat rendah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA). “Kebijakan pengelolaan SDA adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda politik, sehingga kerap berujung pada bencana dan kesengsaraan bagi rakyat,” kata Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga, Senin (10/2).

Menurutnya, penyelenggaraan pemilu legislatif pada April 2014 mendatang menjadi momen penting bagi masyarakat untuk memilih parpol atau calon anggota legislatif. Terlebih lagi terkait dengan agenda yang mendukung kelestarian lingkungan, bukan hanya melihat pembangunan dari parameter ekonomi saja.

“Mudah-mudahan survei ini bisa mengangkat kesadaran masyarakat yang punya hak pilih dan kesadaran parpol atau caleg untuk concern di isu lingkungan,” katanya.

Dari hasil survei yang dilakukan dari tanggal 1 Oktober hingga 15 November 2013 tersebut, 91 persen responden setuju bahwa terdapat hubungan antara bencana alam secara nasional dengan praktik pengelolaan SDA yang berlebihan. Sedangkan sekitar 80,1 persen responden menilai bahwa korupsi merupakan pengelolaan SDA yang sering dialami.

Sedangkan mengenai bencana, 61 persen responden memilih banjir sebagai jenis bencana alam yang paling sering dialami. Setelah itu disusul oleh kekeringan sebesar 13,6 persen. “Publik menilai perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan atau penebangan hutan dan penggunaan air tanah yang belerbihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan,” katanya.

Direktur Eksekutif LP3ES Kurniawan Zen menambahkan, survei dilakukan di tujuh kota di Indonesia. Responden survei merupakan orang-orang yang sudah memiliki hak pilih dalam pemilu atau di atas usia 17 tahun. Menurutnya, survei dilakukan secara proporsional berdasarkan wilayah yang kerap terjadi bencana. “Indikasikan (hasil survei) bahwa pemilih memiliki tingkat awareness terhadap isu lingkungan dan politik,” katanya.

Untuk di Pekanbaru, survei dilakukan kepada 80 orang di empat desa. Di Jakarta survei dilakukan kepada 280 orang di 14 desa, Surabaya kepada 100 responden di lima desa, Makasar, Samarinda, Kupang dan Sorong masing-masing sebanyak 60 responden di tiga desa. Menurutnya, pengambilan sampel desa merupakan tingkat wilayah terkecil di suatu daerah.

Dari hasil survei tersebut, kata Kurniawan, menunjukkan bahwa 74,3 persen responden menganggap pengelolaan SDA saat ini lebih memberikan dampak kerusakan yang merugikan masyarakat daripada manfaat. Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi pemicu kerusakan lingkungan, yakni korupsi antara pengelola SDA dan pemangku kepentingan serta pengawasan yang lemah dari pemerintah.

Bukan hanya itu, hasil survei menunjukkan bahwa 52,7 persen responden tak akan menggunakan hak pilihnya apabila terdapat bukti praktik korupsi yang dilakukan parpol baik secara perorangan atau kelembagaan. “Dan 37,1 persen responden tidak akan memilih parpol yang diduga melakukan praktik korupsi pengelolaan meski baru sebatas isu,” katanya.

Pengamat Kebijakan Publik Andrinof Chaniago mengatakan, hasil survei tersebut menunjukkan bahwa persoalan lingkungan merupakan masalah besar. Namun sayangnya, dalam wacana publik terungkap bahwa persoalan lingkungan merupakan masalah besar tapi bukan isu besar, seperti korupsi, masalah kebutuhan pokok, kelangkaan infrastruktur maupun ketersediaan lapangan kerja.

Hal ini pula yang menjadi tantangan agar masalah lingkungan dapat menjadi isu publik yang besar. “Tantangan kita bagaimana angkat isu lingkungan jadi isu publik. Dekatkan persepsi dengan kenyataan, agar sadar ini menyangkut hidup orang banyak,” katanya.

Ia mengatakan, persoalan lingkungan ini bukan isu publik lantaran membutuhkan penjelasan yang sistemik. Bahkan, pertumbuhan ekonomi yang dipuji pemerintah selama ini secara tak langsung juga menyumbang rusaknya ekosistem. Misalnya dalam bisnis properti. Pembangunan properti di sebuah daerah dapat menyumbang bencana banjir apabila berkurangnya wilayah resapan, berkurangnya kebutuhan drainase dan mendorong urbanisasi sehingga tempat tinggal menjadi lebih padat.

Lantaran masalah lingkungan bukanlah isu besar dalam wacana publik, maka parpol dan caleg tak akan mengangkat isu tersebut dalam agenda politiknya. Secara politik, isu lingkungan tidak menarik bagi politisi dan parpol karena tidak terpengaruh terhadap keterpilihan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait