Agar Tak Defisit, Kenaikan Iuran Salah Satu Solusi
BPJS Kesehatan:

Agar Tak Defisit, Kenaikan Iuran Salah Satu Solusi

Evaluasi tetap perlu dilakukan untuk setiap kegiatan BPJS Kesehatan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Jika BPJS Kesehatan ingin tetap bisa beroperasional tanpa dihantui ancaman defisit atau kebangkrutan, menaikkan besaran iuran menjadi salah satu solusi. Senyampang dengan kenaikan itu, perbaikan di sana sini harus dilakukan agar lahir pelaksanaan jaminan sosial yang efektif dan efisien.

Demikian intisari diskusi mengenai BPJS yang berlangsung di Dewan Pers, Kamis (06/8). Ketua Tim penyusunan Sistem Jaminan Sosial Nasional 2001-2004, Sulastomo, mengatakan BPJS harus mengatasi peluang defisit akibat klaim yang harus dibayar lebih besar daripada pemasukan dari iuran anggota. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menaikkan besaran iuran.

Menurut Sulastomo, masalah yang timbul dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan sesuatu yang lumrah mengingat jumlah peserta mencapai 150 juta orang, dan program ini baru berjalan kurang dari dua tahun. Klaim yang harus dibayar pun menjadi besar, sedangkan di sisi lain iuran tak naik. Rasio klaim menjadi 102 persen. Idealnya, rasio ini adalah 90 persen.

Senada, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengatakan kenaikan iuran menjadi solusi. Jika dana yang masuk sudah memadai, maka BPJS bisa meningkatkan pelayanan kepada peserta. Kalaupun saat ini pundi-pundi BPJS terancam defisit, kata Hasbullah, itu sesuatu yang wajar mengingat besarnya skala pekerjaan BPJS, apatah lagi program ini baru dijalankan.

Namun Sulastomo mengingatkan kenaikan iuran tak akan menyelesaikan masalah. Anggota DPR pun pernah menyampaikan keberatan atas rencana kenaikan. Bahkan mungkin menimbulkan masalah baru, semisal penolakan dari masyarakat. Karena itu, ia mengusulkan agar ada evaluasi terhadap program jaminan sosial tersebut. “Sistem yang sudah berjalan perlu dievaluasi apakah sudah efektif dan efisien atau belum pelaksanaannya. Misalnya, bagaimana besaran paket tarif dalam INA-CBGs, lalu ketersediaan obat-obatan,” kata mantan Dirut PT Askes.

Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan secara umum sistem yang diselenggarakan lewat BPJS sudah berjalan baik. Yang perlu diperbaiki adalah berbagai masalah yang muncul di lapangan. Menurutnya salah satu hal yang memicu terjadinya masalah dalam pelaksanaan BPJS yakni kurangnya pemahaman para pemangku kepentingan seperti peserta, petugas BPJS dan fasilitas kesehatan (klinik/RS). “Reaksi (fatwa) MUI (terhadap JKN,-red) itu bentuk kesalahpahaman dalam menilai JKN,” ujar Hasbullah.

Sulastomo berpendapat pelaksanaan JKN saat ini belum berjalan sebagaimana perintah UU. Oleh karenanya pelaksanaan JKN perlu dievaluasi baik oleh BPJS Kesehatan dan DJSN. Sayangnya, DJSN juga menghadapi persoalan dalam pelaksanaan SJSN. Salah satunya, peran dan fungsi DJSN secara faktual belum sesuai dengan amanat UU SJSN. Padahal, regulasi itu mengatur posisi DJSN berada di bawah Presiden langsung. Namun, anggota DJSN kerap mengeluh kesulitan bertemu Presiden.

Sulastomo menjelaskan, pembentukan SJSN bukan hanya untuk mendorong kesejahteraan masyarakat tapi juga perekonomian Indonesia. Sebab, dana yang terkumpul jumlahnya sangat besar dan berperan strategis. Untuk itu pelaksanaan BPJS perlu dibenahi terus-menerus.

Hasbullah menambahkan pemerintah, khususnya Kemenkes, perlu menghitung biaya produksi yang wajar dalam pelayanan kesehatan. Sehingga dengan jumlah dana sesuai standar yang ditentukan, upah yang dibayar terhadap dokter dan tenaga kesehatan lainnya bisa lebih baik.
Tags:

Berita Terkait