Agar Mahasiswa FH Boleh Beracara di Pengadilan
Rechtschool

Agar Mahasiswa FH Boleh Beracara di Pengadilan

PP No. 42 Tahun 2013 memperkokoh dasar pendampingan oleh dosen, mahasiswa dan paralegal.

MYS
Bacaan 2 Menit
Agar Mahasiswa FH Boleh Beracara di Pengadilan
Hukumonline

Mahasiswa fakultas hukum tetap boleh menjalankan praktik litigasi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan  pengadilan.

Dalam program bantuan hukum yang anggarannya disediakan pemerintah, mahasiswa, dosen, dan paralegal boleh menjalankan praktik litigasi dan non-litigasi. Tetapi untuk litigasi, ada syarat yang harus dipenuhi mahasiswa.

PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42) menyebutkan litigasi pada dasarnya dilakukan oleh advokat yang menjadi pengurus organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) atau advokat luar yang direkrut PBH.

PBH boleh merekrut mahasiswa fakultas hukum (FH) jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai. Mahasiswa tersebut baru bisa beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat, baik advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu.

Syarat lainnya, mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah hukum acara. Tidak disebutkan apakah nilai kelulusan A, B, atau C; dan tidak disebutkan apakah semua hukum acara atau cukup acara pidana dan acara perdata. Mahasiswa tersebut juga harus sudah ikut pelatihan paralegal. Pasal 13 ayat (4) PP 42 hanya menyebutkan mahasiswa FH tersebut ‘harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal’.

Berdasarkan catatan hukumonline, para mahasiswa biasanya banyak menimba ilmu dalam berbagai pelatihan di lembaga bantuan hukum. Program magang di kantor pengacara adalah pilihan lain.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-M), misalnya, menawarkan program magang (internship) kepada mahasiswa setiap tahun. Juli tahun ini, ada 10 mahasiswa yang dinyatakan lolos ikut program tersebut. Selain program internship, masih ada program magang reguler di LBH-M.

Mahasiswa yang magang reguler inilah yang sering ikut menangani kasus meskipun, menurut Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif LBH-M, yang maju ke pengadilan tetap advokat. “Belum ada yang sampai duduk beracara,” ujarnya.

Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI), Ismail Hasani, mengapresiasi ketentuan PP 42. Dengan aturan tersebut berarti memperkokoh payung hukum buat mahasiswa, paralegal, dan dosen untuk beracara. “Aturan itu patut kita apresiasi karena lebih memperkokoh,” ucapnya kepada hukumonline.

Daerah Minim Advokat
Dalam konteks penyelenggaraan bantuan hukum untuk warga miskin, kehadiran mahasiswa FH sebenarnya sangat penting terutama di daerah-daerah yang jumlah advokat, dosen hukum dan paralegal tidak memadai. Itu sebabnya, kata Ismail, dalam proses pembentukan UU Bantuan Hukum dan peraturan teknisnya, PJI berharap lebih dari sekadar pendampingan oleh advokat.

Ditegaskan Ismail, di daerah yang minim advokat seharusnya mahasiswa dan paralegal diperbolehkan membantu warga miskin dalam proses litigasi. Syaratnya, tetap perlu mendapat izin dari ketua pengadilan setempat. “Harapannya, mereka bisa beracara di daerah-daerah yang tidak ada atau minim advokatnya, tetapi tetap seizin ketua pengadilan,” jelas Ismail.

Ismail berpendapat tidak perlu ada pembatasan perkara yang bisa ditangani. Tidak perlu ada kekhawatiran paralegal dan mahasiswa mengambil ‘jatah’ advokat. Pada umumnya, paralegal lebih fokus menangani kasus-kasus yangmelibatkan komunitas.

Pembatasan pada tahap beracara bagi mahasiswa juga tak perlu. Pasal 15 PP 42 juga sudah mengakomodasi ketentuan pendampingan atau menjalankan kuasa. Mahasiswa boleh mendampingi atau menjalankan kuasa di tingkat penyidikan, penuntutan, di muka persidangan, atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Di daerah-daerah yang minim advokat, mahasiswa juga bisa menjalankan tugas memberi bantuan hukum non-litigasi. Termasuk dalam cakupan non-litigasi tersebut adalah peyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, dan drafting dokumen hukum.

Di daerah-daerah bencana, mahasiswa, dosen, dan paralegal juga bisa memberikan bantuan hukum kepada para korban. PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial memasukkan bantuan hukum sebagai bagian dari perlindungan sosial. Beleid ini memberi ruang kepada warga yang mengalami kerentanan sosial untuk mendapatkan bantuan hukum.

Tags: