Agar Kebal Suap, Gaji Hakim Agung Harus Tinggi
Berita

Agar Kebal Suap, Gaji Hakim Agung Harus Tinggi

Anggota KHN usul gaji hakim agung Rp500 juta, meniru Singapura.

ALI
Bacaan 2 Menit
Agar Kebal Suap, Gaji Hakim Agung Harus Tinggi
Hukumonline

Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang membebaskan Sudjiono Timan masih menimbulkan kontroversi. Para pakar dan pengamat saling beradu argumen membahas vonis yang dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat ini. Usulan untuk reformasi Mahkamah Agung (MA) pun kembali mengemuka. Salah satunya adalah memperhatikan kesejahteraan para hakim agung.

Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winata mengatakan agar para hakim agung bisa ‘kebal’ dari suap, maka gaji dan kesejahteraan mereka harus ditingkatkan. Ia bahkan mengusulkan agar Indonesia meniru Singapura yang mengggaji hakim agung sebesar Rp500 juta per bulan.  

“Di negara yang rule of law-nya sudah berjalan dengan baik, pasti hakim agungnya digaji tinggi,” tuturnya dalam diskusi KHN, di Jakarta, Rabu (4/9). KHN merupakan lembaga yang salah satu fungsinya mengkaji dan memberikan masukan hukum kepada presiden.

Selain memperoleh gaji Rp 500 juta per bulan, lanjut Frans, hakim agung di Singapura juga bisa mendapat bonus sebesar Rp1-2 Miliar bila mereka berhasil membuat ‘landmark decision’, putusan bersejarah yang akan dijadikan acuan.

“Bila mereka bisa buat putusan yang tak bisa (kalah,-red) dikasasi dan banding, putusan brilian yang bisa pengaruhi arah bagaimana masyarakat dibentuk, maka bonus itu akan diberikan kepada mereka,” tuturnya.

Frans menilai usulan ini cukup realistis diterapkan di Indonesia. Ia sudah menghitung saat ini di MA ada sekira 50 hakim agung. Bila dikalikan Rp500 juta per bulan, maka negara akan menghabiskan Rp25 Miliar per bulannya untuk gaji hakim. “Kalau kita bandingkan dengan anggaran APBN kita, jumlah segitu sih seperti beli kacang goreng,” ujarnya.

Sebelumnya, sebagaimana diberitakan hukumonline, Hakim Agung Supandi mengeluhkan minimnya pendapatan yang diperolehnya setiap bulan, padahal tugasnya cukup berat sebagai hakim agung. Bahkan, gaji hakim agung sekarang justru lebih rendah dibanding dengan gaji hakim pengadilan tinggi.

Ketua KY Suparman Marzuki pernah mengungkapkan seorang Ketua Pengadilan Tinggi bisa memperoleh pendapatan Rp45 hingga 46 juta per bulannya. Sedangkan, hakim agung hanya mendapat gaji Rp30 juta perbulan. Ini dianggap sebagai salah satu akibat turunnya minatKetua PT menjadi hakim agung.

Kenaikan gaji hakim di bawah lingkungan MA ini merupakan ‘buah’ dari desakan para hakim muda yang meminta agar kesejahteraan mereka diperhatikan. Perjuangan ini berhasil dengan diterbitkannya PP Nomor 94 Tahun 2012. Sayangnya, PP ini hanya mengatur perbaikan kesejahteraan hakim di pengadilan dibawah MA, bukan hakim agung.

Frans mengetahui permasalahan ini. Ia mengkritik sikap pemerintah yang melakukan reformasi dengan menaikkan gaji hakim di pengadilan tingkat bawah. Ia menilai seharusnya kenaikan gaji dimulai dari hakim agung. Pasalnya, jumlah hakim agung yang sedikit akan lebih mudah diukur apa kebijakan ini berhasil atau tidak.

“Seharusnya mulai di MA dulu. Mungkin bisa memulai dengan memberikan gaji Rp250 juta perbulan. Lalu, lihat dalam satu atau dua tahun. Bila ada perubahan, baru ditambah lagi dan dilakukan untuk hakim tinggi dan hakim pengadilan negeri,” tambahnya.

“Kalau berdasarkan gaji sekarang, mereka seperti kepepet. Disodori Rp5 Miliar mereka akan gampang digoyang,” ujarnya.

Tiru Lee Kuan Yew
Lebih lanjut, Frans berharap Indonesia meniru kesuksesan Singapura dibawah pimpinan Perdana Menteri pertamanya Lee Kuan Yew. Pada 1960an, ketika Singapura lepas dari Malaysia, Lee Kuan Yew memfokuskan reformasi hukum di negara yang baru seumur jagung itu.

“Ini karena latar belakangnya sebagai lawyer. Dan dia percaya bahwa reformasi hukum harus dilakukan pertama kali,” ujarnya.

Pasca ‘urusan’ hukum diberesi selama sepuluh tahun, barulah Lee Kuan Yew fokus ke hal-hal lain. Yakni, berturut-turut melakukan reformasi ekonomi, industri dan hingga kini fokus ke bidang teknologi. “Jadi, hukum dulu ditegakan baru ekonomi. Di Indonesia kan sebaliknya,” tambah Frans.

“Dia percaya dengan pernyataan ‘Ubi Socetas Ibi Ius’,” pungkas Frans mengutip ucapan filsuf Romawi Cicero yang berarti ‘dimana ada masyarakat di situ ada hukum’.

Tags:

Berita Terkait