​​​​​​​Mencegah Petaka Pemberantasan Korupsi dalam Kasus Pinangki
Kolom

​​​​​​​Mencegah Petaka Pemberantasan Korupsi dalam Kasus Pinangki

​​​​​​​Jangan sampai peradilan pidana yang berintegritas runtuh karena ketidakberanian pengadil.

Bacaan 4 Menit

Penuntutan pidana yang ringan tersebut mengesankan satu hal bahwa JPU tidak serius dan cenderung terbebani. Hal ini memantik pertanyaan mendasar, mengapa kejahatan yang begitu besar dengan pelaku penegak hukum hanya dituntut rendah? Jawabanya bisa bermacam-macam. Mulai dari spekulasi karena terdakwa adalah sejawat, konflik kepentingan, titipan, ada udang dibalik batu, dan seterusnya.

Pengadil harus Berani

Tuntutan Pinangki tersebut berpotensi menjadi petaka bagi masa depan pemberantasan korupsi terlebih terhadap kasus-kasus besar seperti ini. Kita semua tahu bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka tuntutan pidana acapkali berperan sebagai landasan penjatuhan vonis hakim selain dakwaan. Kendatipun majelis hakim tetap dapat memutuskan berbeda dari tuntutan pidana tersebut.

Bak nasi telah menjadi bubur, tuntutan pidana telah dilayangkan. Muara harapan terakhir ada pada majelis hakim selaku pengadil. Majelis hakim harus berani berbeda dan menjawab tantangan penegakan hukum saat ini. Ada contoh kasus kemarin sore yang penting untuk disimak kembali dan jangan sampai terulang dalam penyelesaian kasus ini yaitu kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Kemiripan antara kasus Novel dan kasus Pinangki ialah melibatkan aparat, berkaitan dengan korupsi level atas, dan peran institusi asal pelaku kejahatan dalam proses penyelesaiannya.

Dalam kasus Novel, pelaku adalah anggota Polri. Penyelidik dan penyidik adalah Polri. Dan, penuntut adalah kejaksaan. Penyerangan terhadap Novel sebagai aparat penegak hukum oleh aparat tidak direspon serius melalui dakwaan hingga tuntutan pidana di tangan JPU. Bahkan kita dibuat tercengang, tatkala JPU hanya menuntut para pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dengan alasan yang konyol yakni tidak sengaja menyiram mata Novel. Terlepas dari apakah keduanya merupakan korban dari sandiwara penuntasan kasus yang membusuk selama 3 tahun tersebut atau tidak.

Kasus Pinangki, praksis semuanya dikerjakan pihak kejaksaan. Kali ini alasan JPU karena Pinangki adalah ibu dari seorang anak berusia 4 tahun. Kita tentu prihatin karena buah hati kecil itu barangkali sudah terbebani dengan situasi ini. Namun, ada pula banyak kasus di mana ibu-ibu lain harus mengurusi anaknya di penjara. Anak-anak mereka terlantar karena proses hukum dan seterusnya, di mana mungkin saja hukum telah berlebihan menutup mata dan kupingnya.

Ujung kasus Novel hanya membentangkan hasil yang seolah-olah asal ada vonisnya yaitu penjara 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan masing-masing kepada kedua pelaku. Hakim terlihat jelas tidak condong ke JPU, penuh beban dan tidak berani memutuskan berdasarkan hukum dan keadilan. Peran institusi asal sedikit banyak dapat kita pahami karena konflik kepentingan.

Harapan kepada hakim kali ini tentu berbeda. Sebagai penengah, mahkota lembaga kehakiman sepatutnya adalah independensi dan imparsialitas. Kasus ini telah menjadi ujian penting sistem peradilan pidana yang berintegritas. Sistem peradilan pidana yang berintegritas berarti meletakan prinsip profesionalisme, independensi, dan imparsialitas di dalam setiap tahapan proses hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait