Advokat Senior Ini Sebut Unsur 'Merugikan Keuangan Negara' Hambat Pemberantasan Korupsi
Utama

Advokat Senior Ini Sebut Unsur 'Merugikan Keuangan Negara' Hambat Pemberantasan Korupsi

Diusulkan agar unsur "yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dihapus dan mengganti unsur "setiap orang" dengan "pegawai negeri atau penyelenggara negara" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Chandra M. Hamzah dalam diskusi yang diselenggarakan Transparency International Indonesia secara daring, Kamis (9/8/2024).
Chandra M. Hamzah dalam diskusi yang diselenggarakan Transparency International Indonesia secara daring, Kamis (9/8/2024).

Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi masih memiliki sejumlah persoalan. Salah satunya, penegakan hukum masih belum menimbulkan efek jera dan terkadang justru menimbulkan korban. Misalnya, kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang dibuat direksi BUMN yang kemudian dianggap mendatangkan kerugian keuangan negara, salah satu contohnya. Padahal, untung dan rugi dalam bisnis adalah hal lumrah baik yang dijalankan negara maupun swasta, sekalipun telah dijalankan dengan penuh iktikad baik.

Advokat Senior Chandra M. Hamzah menyampaikan permasalahan tersebut terjadi karena terjadi pergeseran definisi korupsi dalam peraturan perundang-undangan. Di era 1950-1960, sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan korupsi, seperti Pengaturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat; Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957; Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958.

Baca Juga:

Ada juga Undang-Undang No.24/prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Dari berbagai perundang-undangan tersebut, Chandra melihat terdapat kejelasan mengenai definisi korupsi.

Dalam rumusan peraturan perundang-undangan tersebut, inti dari tindak pidana korupsi yaitu setiap perbuatan yang tidak halal bertujuan memperkaya diri sendiri, orang lain maupun badan. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, tidak terdapat unsur ”kerugian negara” dalam tindak pidana korupsi (tipikor) seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan saat ini.

Seperti diketahui, dalam penanganan tipikor berlaku UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001, terdapat frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Menurut Chandra, hal tersebut justru menyulitkan pemberantasan korupsi.

Enggak usah hitung kerugian negara, tapi berapa yang mereka hasilkan dari korupsi itu,” ungkap Chandra M. Hamzah dalam diskusi yang diselenggarakan Transparency International Indonesia secara daring, Kamis (9/8/2024).

Dia menilai ketentuan unsur kerugian negara tersebut justru menghambat penindakan atau pemberantasan korupsi tersebut. Hal ini karena penegak hukum harus mencari unsur kerugian negara terlebih dulu. Padahal, dalam perbuatan tipikor sudah ada unsur memperkaya diri sendiri secara melawan hukum.

”Dengan ada frasa ’kerugian negara’, maka APH harus cari unsur kerugian negara dulu,” ujar Mantan Komisioner KPK ini.

Di luar itu, menurut Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners ini terdapat kelemahan penggunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Dalam praktiknya, dia melihat aparat penegak hukum terfokus pada unsur ”merugikan keuangan negara” daripada memperkaya diri sendiri dan secara melawan hukum.

Selain itu, pasal tersebut tidak dapat digunakan dalam pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana karena tidak dikenal dalam sistem hukum negara lain sebagai suatu tindak pidana atau tidak memenuhi unsur asas kriminalitas ganda atau double criminality.

Untuk itu, Chandra mengusulkan perlu menghapus Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Kemudian, perlu mengganti rumusan pasal tersebut dengan rumusan baru berdasarkna norma yang termuat dalam article 19 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Misalnya, menghilangkan frasa ”yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan mengganti frasa ”setiap orang” dengan kata ”pegawai negeri atau penyelenggara negara” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.  

Terdakwa juga dapat dijatuhi hukuman pidana tambahan berdasarkan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor yaitu berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. ”Terdakwa jangan dituntut hukuman pidana penjara pengganti (subsider),” sarannya.

Dalam kesempatan terpisah, sebelumnya Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin mengatakan tak jarang dalam aksi korporasi kerap berujung menimbulkan kerugian keuangan negara yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Untuk itu, dalam aksi korporasi yang menimbulkan korupsi perlu diperjelas batasannya. Menurutnya, dalam aksi korporasi yang berimplikasi korupsi dapat disebabkan karena 6 hal diantaranya.

Pertama, konflik kepentingan. Dalam menjalankan aksi korporasi sepanjang tidak adanya konflik kepentingan tak jadi soal.  Masalahnya, terjadinya kerugian keuangan negara dalam perusahaan BUMN akibat adanya konflik kepentingan. Nah, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi.

Endingnya cepat atau lambat akan terendus aparat penegak hukum,” ujar Aminudin dalam acara diskusi bertajuk "Peningkatan Pemahaman dan Kapabilitas dalam Deteksi & Pencegahan Dini Korupsi di Lingkungan Grup MIND ID’"di Bali, Rabu (7/8/2024) kemarin.

Kedua, transparansi yang rendah. Menurutnya, keterbukaan dalam pembuatan kebijakan dan tidak setengah kamar menjadi keharusan. Selain itu keberadaan satuan pengawas internal yang menjadi ‘mata dan telinga’ direksi mesti diisi oleh orang-orang independen agar dapat mendeteksi permasalahan.  

Ketiga, kelemahan sistem pengendalian internal. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, deteksi dini yang dapat dilakukan melalui self assessment terhadap sistem pengendalian internal secara berkala. Kemudian audit internal dan eksternal yang dilakukan secara rutin. Khusus audit eksternal mengundang auditor eksternal untuk melakukan audit independen.   

Tags:

Berita Terkait