Advokat Senior Ini Paparkan Tantangan ‘The Future Lawyer’ di Era Digital
Utama

Advokat Senior Ini Paparkan Tantangan ‘The Future Lawyer’ di Era Digital

Para advokat di masa mendatang, yang disebut sebagai the Future Lawyer tentunya juga harus lebih memahami teknologi informasi, internet connection, dan cyber security. Tapi seorang advokat tetap selalu menjunjung tinggi aturan hukum dan etika baik di era industri 4.0 maupun di masa yang akan datang.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Partner Kantor Hukum AHP, Eri Hertiawan saat menyampaikan orasinya dalam Dies Natalis ke-63 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan secara virtual, Rabu (15/9/2021). Foto: RFQ
Partner Kantor Hukum AHP, Eri Hertiawan saat menyampaikan orasinya dalam Dies Natalis ke-63 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan secara virtual, Rabu (15/9/2021). Foto: RFQ

Situasi pandemi Covid-19 mengharuskan perubahan pola interaksi sosial dari tatap fisik/muka menjadi tatap maya. Kondisi ini juga berdampak pada perdagangan yang berimplikasi pada tingginya transaksi secara online (e-commerce) baik secara domestik maupun melewati batas teritorial wilayah Indonesia. Hal ini tak hanya membutuhkan perangkat hukum dan mekanisme penyelesaian sengketanya, tapi juga membutuhkan kesiapan pemberi layanan jasa hukum atau advokat.

“Ini membutuhkan kesiapan para advokat Indonesia sebagai the future lawyer,” ujar Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah dan Partner (AHP), Eri Hertiawan saat menyampaikan orasinya berjudul “Tanggung Jawab Advokat dalam Mewujudkan Access to Justice Melalui Online Dispute Resolution” dalam Dies Natalis ke-63 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, secara virtual, Rabu (15/9/2021). (Baca Juga: Ini Dia Satu-Satunya Advokat Indonesia yang Terpilih Jadi Anggota SIAC)

Eri menerangkan akses untuk mendapatkan keadilan menjadi hak dasar setiap warga negara yang bersifat universal dan dijamin UUD Tahun 1945. Misalnya, hak persamaan di depan hukum (equality before the law) dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Perolehan mendapat akses keadilan ini dapat melalui proses persidangan maupun di luar pengadilan.

Selain itu, akses mendapat keadilan, seperti mendapatkan informasi hukum, kemudahan mendapatkan bantuan hukum, mendapatkan pemulihan atas ketidakadilan (rehabilitasi), hingga peradilan yang adil. Termasuk menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun informal secara tatap muka maupun secara virtual.

Sebagai penegak hukum, advokat juga memiliki peran dan tanggung jawab profesi memastikan setiap orang, khususnya kliennya untuk mendapat keadilan dalam proses penyelesaian perkara hukum. Apalagi, menghadapi kondisi pandemi Covid-19 memaksa semua pihak mencari cara efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa antar para pihak dengan tetap patuh pada aturan dan asas hukum yang berlaku.

Misalnya, persidangan secara online menjadi solusi di tengah keterbatasan para pihak untuk berinteraksi secara langsung. Pemeriksaan sengketa melalui online ini atau dikenal dengan online dispute resolusion (ODR) menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Mekanisme melalui ODR, virtual hearing menjadi hal yang esensial. “Praktik penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional, virtual hearing telah dilakukan sebelum adanya pandemi Covid-19,” kata Advokat yang juga tercatat sebagai Anggota Singapore International Arbitration Centre (SIAC) ini.  

Seperti yang dilakukan lembaga arbitrase internasional, SIAC telah melakukan proses persidangan melalui virtual hearing sebanyak lebih dari 90 persen dari semua perkara yang masuk dan terdaftar di SIAC. Data SIAC periode 2020 menyebutbkan perkara yang didaftarkan untuk diperiksa dan diputus oleh SIAC telah mencapai 1.000-an kasus lebih. “Jadi dapat dibayangkan penanganan kasus yang mencapai ribuan perkara akan sangat dipermudah jika penggunaan teknologi benar-benar dimanfaatkan (seoptimal mungkin, red),” kata dia.

Proses persidangan secara online ini diharapkan tak lagi ada advokat yang mengadakan “ex parte meeting” dengan hakim atau arbiter. Sekalipun diperlukan pertemuan, harus melalui court room atau hearing room yang dilakukan secara virtual. Dengan begitu, terdapat transparansi dan akuntabilitas profesi yang dapat dipertanggungjawabkan. Komunikasi antara advokat dan hakim bakal tercatat secara digital dalam minuta yang setiap saat dapat diakses kembali.

“Disinilah tantangan bagi advokat pada saat ini dan di masa mendatang untuk dapat selalu relevan dengan segala perubahan. Para advokat di masa mendatang, yang saya sebut sebagai the Future Lawyer tentunya juga harus lebih memahami teknologi informasi, internet connection, dan cyber security,paparnya.

Apalagi, pertumbuhan yang pesat dalam online cross-border transaction menimbulkan kebutuhan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul sekaligus mekanisme penyelesaian sengketa yang juga dilakukan secara online. Dia melanjutkan ODR mulai dibahas serius di forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Di Indonesia, terdapat UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

UU tersebut memberikan fondasi untuk digunakan mekanisme lain dalam rangka alternatif penyelesaian sengketa. “Pada hakikatnya para pihak dapat membuat perjanjian tersendiri untuk menyelesaikan sengketa, salah satunya dengan hukum acara yang disepakati para pihak.”

Dalam praktik hukum di Indonesia, Mahkamah Agung telah memberikan panduan virtual hearing dalam proses persidangan perkara pidana. Namun, memang belum menyeluruh berlaku sepenuhnya terhadap persidangan perkara perdata dan mediasi. Menurutnya, MA sudah bergerak cepat dan maju merespon kondisi pandemi dengan menerbitkan sejumlah kebijakan.

Misalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. SEMA No.1 Tahun 2021 Tentang Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya Pada Wilayah Jawa dan Bali.

Terkait e-court, Perma No.1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan Perma No.1 Tahun 2016 tentang Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tapi sampai saat ini belum ada ada pengaturan mengenai tata cara mediasi secara elektronik. Padahal, untuk menciptakan mediasi yang efektif dan efisien bukan hanya saat pandemi Covid-19, tetapi juga sesudahnya.

“Saya mengusulkan agar MA menerbitkan kebijakan, pedoman, atau peraturan bagi penyelenggaraan mediasi secara elektronik. Tentunya, kesepakatan para pihak juga harus diutamakan dan bakal menjadi dasar penyelenggaraan mediasi secara elektronik ini,” harapnya.

Eri juga mengusulkan agar dibuat peraturan untuk advokat agar bertindak sesuai koridor hukum yang memenuhi asas due process of law dalam upaya memperoleh access to justice melalui mekanisme ODR. Ternasuk mengatur bagaimana hakim di pengadilan atau majelis arbitrase dalam persidangan arbitrase melalui mekanisme ODR ini. Organisasi advokat juga perlu berperan untuk menjaga agar the future lawyer dapat menjalankan kewajiban profesinya dengan baik di era industri yang serba digital ini.

“Nantinya aturan baru ini menjadi rambu-rambu bagi the future lawyer yang melakukan tindakan hukum bagi kepentingan kliennya dengan bantuan teknologi informasi.”  

Dia menambahkan seorang the future lawyer tak dapat memungkiri perubahan di era industri digital, sehingga harus meninggalkan area nyaman. Seorang the future lawyer juga harus memperkuat pengetahuan dan pemahaman mengenai teknologi informasi dan digital communication. “Tapi seorang advokat tetap selalu menjunjung tinggi hukum dan etika baik di era industri 4.0 maupun di masa yang akan datang,” katanya.

Rektor Unpar, Mangadar Situmorang menyampaikan terima kasih kepada Eri Hertiawan yang memberi orasi berjudul “Tanggung jawab Advokat dalam Mewujudkan Acces to Justice Melalui Online Dispute Resolution” menjadi topik yang sangat relevan dalam situasi pandemi Covid-19 dan sangat relevan dengan kemajuan teknologi dan informasi dengan revolusi industri 4.0 serta perkembangan masyarakat.

“Adaptasi adopsi digital menjadi kemajuan masyarakat kita ke depannya. Karena itu, mekanisme penyelesaian perselisihan secara digital, online, nampaknya menjadi sebuah kebutuhan. Sekali lagi kepada Eri kami sampaikan terima kasih."

Tags:

Berita Terkait