Advokat Ragu Penyidik Patuhi Putusan MK
Saksi Meringankan:

Advokat Ragu Penyidik Patuhi Putusan MK

Apakah saksi meringankan yang dimaksud MK dalam putusannya juga mencakup saksi testimonium de auditu?

Rzk
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Talks Hukumonline dengan tema “Perubahan Makna Saksi dalam Hukum Acara Pidana dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan Pidana”. Foto: SGP
Acara diskusi Talks Hukumonline dengan tema “Perubahan Makna Saksi dalam Hukum Acara Pidana dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan Pidana”. Foto: SGP

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 65/PUU-VIII/2010 terkait pengujian aturan definisi saksi dalam KUHAP ternyata masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Sebagian kalangan advokat mempertanyakan bagaimana pelaksanaan putusan MK itu nantinya di lapangan. Mereka ragu pihak terkait khususnya aparat penyidik akan memenuhi permintaan tersangka untuk menghadirkan saksi yang meringankan.

 

“Apa sanksinya jika penyidik tidak memenuhi permintaan tersangka yang ingin menghadirkan saksi a de charge,” ujar Astro P Girsang dalam acara diskusi Talks Hukumonline dengan tema “Perubahan Makna Saksi dalam Hukum Acara Pidana dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan Pidana” hasil kerjasama hukumonline dan DPC AAI Jakarta Pusat, Rabu (24/8).

 

Astro mengaku pesimis putusan MK dapat dilaksanakan jika tidak diberlakukan sanksi. Pasalnya, menurut Sekjen DPC AAI Jakarta Pusat ini, penyidik cenderung mengabaikan asas presumption of innocence. Akibatnya, penyidik seringkali mengabaikan hak-hak yang dimiliki tersangka, termasuk hak menghadirkan saksi yang meringankan atau menguntungkan sebagaimana diatur Pasal 65 KUHAP.

 

Dalam acara yang sama, Hakim Konstitusi M Akil Mochtar mengatakan putusan MK bersifat erga omnes. Artinya, putusan MK berlaku umum, tidak hanya berlaku bagi para pihak berperkara. Dalam hal ini, putusan No 65/PUU-VIII/2010 tidak hanya berlaku bagi Yusril Ihza Mahendra selaku pemohon perkara pengujian ini.

 

Namun begitu, lanjut Akil, MK tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan agar putusannya dilaksanakan. “MK hanya membuka jalan,” tukasnya. Dia menegaskan kembali dasar pertimbangan putusan No 65/PUU-VIII/2010. MK, tutur Akil, berpandangan pengertian saksi dalam KUHAP menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa (kepastian) serta asas lex stricta (tegas) sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana.

 

“Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum,” tutur Akil mengutip isi putusan MK.

 

Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Mabes Polri RM Panggabean menegaskan pada prinsipnya aparat Polri adalah pelaksana hukum, termasuk undang-undang dan putusan hakim. Makanya, dia mengatakan putusan MK terkait aturan definisi saksi pasti akan dijalankan oleh aparat penyidik. Hanya saja, menurut Panggabean, putusan MK itu perlu disosialisasikan terlebih dahulu.

 

Soal sanksi, RM Panggabean mengatakan selama tidak diatur, maka penyidik tidak dapat dijatuhi sanksi jika tidak memenuhi hak tersangka untuk menghadirkan saksi meringankan. Namun begitu, bukan berarti saluran untuk mempersoalkan penyidik tidak ada sama sekali.  Panggabean mengingatkan bahwa masyarakat dapat mengadu ke Divisi Propam Mabes Polri atau Komisi Kepolisian Nasional.

 

“Berdasarkan aturan yang baru (Perpres No 17 Tahun 2011), Kompolnas dapat mengikuti sidang kode etik,” Panggabean menambahkan.

 

Pengajar hukum acara pidana FHUI Flora Dianti mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperjelas dari putusan MK. Pertama, apakah saksi meringankan yang dimaksud MK dalam putusannya hanya mencakup saksi alibi atau juga saksi testimonium de auditu (saksi yang tidak mendengar, melihat, dan mengalami, red.). Selain itu, Flora juga ragu putusan MK dapat dilaksanakan karena pada praktiknya penyidik lebih mengedepankan presumption of guilty ketimbang presumption of innocence.

 

Menurut Flora yang juga berprofesi advokat, pelaksanaan putusan MK seyogianya dituangkan dalam revisi KUHAP. Masalahnya, proses penyusunan revisi KUHAP hingga kini tidak jelas nasibnya. “Entah kapan, revisi KUHAP itu disahkan oleh DPR,” ujarnya menyiratkan pesimistis.

 

Sebagaimana diketahui, Yusril Ihza Mahendra menguji Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) jo Pasal 184 ayat (1a) KUHAP yang mengatur hak tersangka untuk menghadirkan saksi yang menguntungkan. Pasal-pasal itu secara bersyarat dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), 28 H ayat (2), dan 28 J UUD 1945.

 

Pengujian ini dilakukan lantaran penyidik Kejagung pernah menolak empat saksi yaitu Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Kwik Kian Gie. Keempat tokoh itu dianggap sebagai saksi menguntungkan bagi Yusril sebagai tersangka kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).

 

Dalam putusan No 65/PUU-VIII/2010, MK menyatakan Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal itu tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dengan putusan ini, MK berarti telah ‘memperluas’ definisi saksi dari aturan KUHAP yang selama ini berlaku.

Tags: