Advokat Ini Usulkan UU Omnibus Law untuk Penegak Hukum
Utama

Advokat Ini Usulkan UU Omnibus Law untuk Penegak Hukum

Upaya itu bisa dilakukan dengan menyatukan berbagai UU terkait penegak hukum yang diharapkan dapat memberi kewenangan yang berimbang antar penegak hukum agar tidak ada lagi lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi ketimbang lembaga penegak hukum lainnya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Khusus untuk profesi penegak hukum, Tjoetjoe mengusulkan agar dibentuk UU Omnibus Law tentang Penegak Hukum. Upaya itu bisa dilakukan dengan menyatukan berbagai UU terkait penegak hukum yang diharapkan dapat memberi kewenangan yang berimbang antar penegak hukum agar tidak ada lagi lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi ketimbang lembaga penegak hukum lainnya.

“UU Penegak Hukum harus dibenahi dan itu harusnya dalam satu aturan saja atau metode Omnibus Law,” usulnya.

Tjoetjoe berpendapat tidak cukup jika yang direvisi hanya UU Advokat saja karena diyakini hal itu tidak akan membawa perubahan terhadap sistem hukum secara signifikan. Semua UU yang berkaitan dengan penegak hukum harus dibenahi dan dijadikan satu sistem melalui penyusunan UU Omnibus Law tentang Penegak Hukum.

“Ini kesempatan Presiden Joko Widodo jelang masa jabatannya beberapa tahun lagi untuk meninggalkan warisan terbaik untuk bangsa yakni membentuk Omnibus Law Penegak Hukum,” harapnya.

Seharusnya sejajar

Dalam kesempatan yang sama, Advokat senior sekaligus pendiri Kantor Hukum SSA, Suhardi Somomoeljono mengatakana ada 4 pilar penegak hukum di Indonesia yakni polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Semua penegak hukum itu posisinya setara. Namun, praktiknya ada lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi dari lembaga penegak hukum lainnya. Status advokat sebagai penegak hukum belum berjalan sesuai harapan. Misalnya, advokat tidak boleh mendampingi saksi di KPK. Hal ini terjadi karena advokat belum memiliki peran di tingkat hulu dalam sistem penegakan hukum.

“Implementasi UU Advokat ini ‘setengah hati’,” ujarnya.

Oleh karena itu Suhardi menekankan semua penegak hukum posisinya harus sejajar, tapi pada praktiknya tidak. “Peran advokat seolah tidak masuk dalam criminal justice system,” tegasnya.

Dalam rangka ikut serta mengimbangi percepatan pembangunan dalam segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga legislatif khususnya pasca diundangkannya UU Cipta Kerja sebagai bentuk hukum progresif yang dianut kebijakan legislasi nasional, Suhardi mengusulkan UU Advokat tidak perlu diganti atau direvisi. Menurutnya, yang sekarang terjadi saat ini bukan kesalahan pada substansi UU Advokat, tapi tafsir atas pelaksanaan UU Advokat.

“Dalam mengatasi keadaan tersebut DPR RI melalui Komisi Hukum dapat menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait yang dipandang memiliki kepentingan bersama dalam melaksanakan criminal justice system,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait