Advokat Ini Jelaskan 5 Perubahan Hak dan Kewajiban Pekerja Melalui UU Cipta Kerja
Utama

Advokat Ini Jelaskan 5 Perubahan Hak dan Kewajiban Pekerja Melalui UU Cipta Kerja

Sejumlah perubahan hak dan kewajiban pekerja meliputi soal waktu kerja, lembur; upah minimum; PHK; PKWT; dan alih daya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: 'Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja-Sektor Ketenagakerjaan', Selasa (2/2). Foto: Hol
Sejumlah narasumber dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: 'Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja-Sektor Ketenagakerjaan', Selasa (2/2). Foto: Hol

Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja mengubah sebagian pasal UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah pun telah menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Empat RPP dimaksud yakni RPP Penggunaan Tenaga Kerja Asing; RPP Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK); RPP Pengupahan; dan RPP Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Partner Kantor Hukum SSEK, Syahdan Aziz, mengatakan sedikitnya ada 5 perubahan hak dan kewajiban buruh/pekerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja, RPP PKWT-PHK, RPP JKP. Pertama, waktu kerja dan waktu istirahat. RPP ini membagi dua jenis waktu kerja yakni standar dan untuk sektor tertentu. Waktu kerja standar yaitu 7 jam per hari atau 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja; dan/atau 8 jam satu per hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Waktu kerja standar itu tidak berlaku untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat menerapkan waktu kerja yang kurang atau lebih dari ketentuan sebagaimana diatur dalam waktu standar. Syahdan menyebutkan RPP PKWT-PHK ini mengatur karakteristik sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang waktu kerjanya di bawah standar yakni penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 jam dalam 1 hari dan kurang dari 35 jam dalam 1 minggu; waktu kerja fleksibel; atau pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja.

Perubahan lain dalam waktu kerja yang diatur UU Cipta Kerja dan RPP PKWT-PHK yakni mengenai lembur. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu. Ketentuan itu berbeda dengan pengaturan lembur sebagaimana Pasal 78 UU Ketenagakerjaan yakni waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

“Waktu lembur dalam RPP ini (dan UU Cipta Kerja, red) selisih 1 jam dalam 1 hari dan 4 jam dalam 1 minggu dibandingkan UU Ketenagakerjaan,” ujar Syahdan Aziz dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja-Sektor Ketenagakerjaan, Selasa (2/2/2021). (Baca Juga: Alasan Pemerintah Kurangi Kompensasi PHK)

Kedua, upah minimum. Syahdan memaparkan UU Cipta Kerja mengatur kewenangan menetapkan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota oleh Gubernur. Ketentuan itu menghapus peran Bupati/Walikota dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota. Selain itu, formula yang digunakan untuk menghitung upah minimum bukan lagi pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tapi pertumbuhan ekonomi atau inflasi. UU Cipta Kerja juga menghapus upah minimum sektoral provinsi (UMSP).

UU Cipta Kerja menegaskan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil. Upah minimum untuk usaha mikro dan kecil dilakukan dengan kesepakatan antara pengusaha dan buruh/pekerja. Kesepakatan upah itu sekurangnya sebesar presentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

“Peran pengawasan sangat penting untuk menjamin pelindungan buruh,” kata dia mengingatkan.

Ketiga, pemutusan hubungan kerja (PHK). Syahdan menjelaskan RPP mengatur ketentuan yang mencegah tindakan PHK sepihak dengan cara pengusaha memberitahukan kepada buruh dan/atau serikat buruh di perusahaan tentang maksud dan alasan PHK. Pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha paling lambat 14 hari sebelum PHK. Jika keberatan dengan PHK itu, buruh wajib membuat surat penolakan disertai alasannya paling lambat 7 hari setelah diterimanya surat pemberitahuan itu.  

Terkait kompensasi PHK yang diatur UU Cipta Kerja dan RPP PKWT-PHK ini, Syahdan menilai tidak menggembirakan bagi buruh karena ada elemen yang dipangkas yakni kompensasi penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. “Jadi ada pengurangan (kompensasi PHK, red), kemudian juga faktor pengalian untuk pesangon sesuai dengan alasan PHK, yang tadinya 2 kali ketentuan menjadi 1 kali, ada juga yang hanya mendapat setengah (0,5) ketentuan,” bebernya.

“Hal baru yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan ditegaskan dalam RPP yakni program JKP. Kendati akan diatur dalam RPP terpisah, tapi secara umum JKP yang bisa diterima maksimal 6 bulan upah dan bentuknya beragam mulai dari uang tunai, akses ke pasar kerja, dan pelatihan.”

Keempat, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Syahdan mengatakan UU Cipta Kerja menghapus batasan waktu maksimal 5 tahun untuk PKWT dimana sebelumnya (dalam UU Ketenagakerjaan) diatur PKWT pertama paling lama 2 tahun, kemudian diperpanjang 1 tahun, dan setelah jeda 30 hari hanya dapat diperpanjang paling lama untuk 2 tahun.

Tapi, dalam RPP PKWT-PHK mengatur pelaksanaan jangka waktu PKWT paling lama 5 tahun dan jika PKWT itu berakhir dapat diperpanjang 1 kali dengan jangka waktu sesuai kesepakatan pengusaha dan buruh. Kemudian, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada buruh yang PKWT-nya berakhir.

Kelima, alih daya. Syahdan menyebut poin penting UU Cipta Kerja terkait alih daya yakni menghapus perbedaan mekanisme pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan. Pelindungan buruh, upah, dan kesejahteraan, syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

Jika perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, dalam perjanjian itu harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak buruh bila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan obyek pekerjaannya tetap ada. “Ini prinsiptransfer of undertaking protection of employment (TUPE) sebagaimana putusan MK No.27/PUU-IX/2011,” ujar Syahdan.

Hukumonline.com

Partner Kantor Hukum SSEK, Syahdan Aziz. 

Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Ditjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan, Agatha Widianawati, mengatakan pengurangan pesangon dilakukan karena pemerintah ingin memperkuat Jaminan Sosial agar pembayaran kompensasi PHK dapat direalisasikan.

“Jika pesangon (kompensasi PHK, red) hanya mengandalkan perusahaan, ketika perusahaan tidak mampu, tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu, dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (salah satu bagian dari program Jaminan Sosial, red) dapat di-cover kompensasi PHK-nya,” kata Agatha

Mengingat RPP tentang PKWT-PHK belum terbit, Agatha menyarankan kepada para pihak yang ingin melakukan PHK untuk mengacu perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama (PKB). Jika berbagai peraturan yang berlaku di perusahaan itu tidak mengatur rinci mengenai kompensasi PHK, lebih baik diselesaikan melalui kesepakatan bersama.

Tags:

Berita Terkait