Advokat Ini ‘Gugat’ Perda DKI Penanggulangan Covid-19 ke MA
Berita

Advokat Ini ‘Gugat’ Perda DKI Penanggulangan Covid-19 ke MA

Karena Perda DKI Jakarta tentang Penanggulangan Covid-19 memberlakukan pidana denda bagi masyarakat yang menolak divaksinasi maksimal Rp5 juta. Pemohon meminta frasa “dan/atau vaksinasi Covid-19” dalam Pasal 30 Perda 2/2020 terbukti bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009; Pasal 3 ayat (2) UU 39/2009; dan Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Namun demikian, Pemohon sangat menyadari penyusunan Perda 2/2020 upaya pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Namun, sebagai warga DKI Jakarta, Pemohon memiliki hak dijamin oleh UU 36/2009 untuk menentukan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kata lain, Pemohon tidak menafikan upaya pemerintah dalam penanggulangan penyebaran Covid-19, tapi seharusnya tidak melanggar hak-hak Pemohon yang dijamin UU 36/2009 dan UU 39/1999.

Sebab, menurutnya ketentuan Pasal 30 Perda 2/2020 secara tekstual dan gramatikal mengandung sifat memaksa kepada setiap warga masyarakat yang berdomisili di Provinsi DKI Jakarta karena terdapat sanksi pidana denda sebesar Rp5 juta bagi setiap orang yang menolak vaksinasi Covid-19. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009 yang memberi hak kepada setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan.

Terlebih, menurut Menteri Kesehatan Vaksinasi hanya pertahanan kedua dari resiko penularan Covid-19. Pertahanan utama yang harus dijalankan oleh masyarakat adalah Protokol 3M yakni: 1. Memakai Masker; 2. Mencuci Tangan; dan 3. Menjaga Jarak dan Menghindari Kerumunan. Artinya, setiap warga masyarakat seharusnya memiliki kebebasan menentukan menjalankan protocol 3M secara tertib atau melakukan vaksinasi covid-19.

Pemberian sanksi pidana denda sebesar Rp5 juta kepada setiap warga DKI Jakarta juga bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 yakni hak atas jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. Mengingat setiap warga DKI Jakarta memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-beda.

“Warga yang tidak mau divaksinasi Covid-19, secara ekonomi mampu membayar denda, maka bisa memilih untuk tidak dilakukan vaksinasi Covid-19. Tapi, warga yang tidak mampu membayar denda, maka mau tidak mau, suka tidak suka, warga tersebut harus dilakukan vaksinasi Covid-19,” kata Viktor.  

Apalagi, efek samping (keamanan) vaksin Covid-19 belum diketahui secara pasti. Dikutip Kompas.com, bahkan perusahaan yang memproduksi vaksin Covid-19 Sinovac yang saat ini telah masuk ke Indonesia sebanyak 1.200.000 menyebutkan hingga saat ini belum diketahui kemanjuran dari vaksin tersebut. Tidak adanya jaminan kepastian hukum juga dapat terjadi atas pemberlakuan sanksi pidana denda Rp5 juta lebih dari satu kali terhadap warga yang menolak divaksinasi Covid-19.

Adanya norma yang memberi sanksi pidana denda Rp5 juta kepada setiap warga DKI Jakarta juga telah bertentangan dengan cerminan asas keadilan dan ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011.

“Berdasarkan seluruh uraian diatas, terhadap frasa ‘dan/atau vaksinasi Covid-19 sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Perda 2/2020 telah terbukti bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009; Pasal 3 ayat (2) UU 39/2009; dan Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011. Artinya, yang terkena pidana denda maksimal Rp5 juta hanya setiap orang yang menolak pengobatan saja (tidak termasuk yang menolak vaksinasi, red),” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait