Praktik outsourcing kerap mendapat sorotan publik, terutama dari kalangan buruh/pekerja. Sejatinya praktik outsourcing dapat membantu perusahaan agar terhindari dari permasalahan hukum ketenagakerjaan. Sebab, tanggung jawab ketenagakerjaan bagi pekerja outsourcing adalah urusan perusahaan outsourcing.
Partner Assegaf, Hamzah & Partner (AHP), Ahmad Maulana, mengingatkan sejumlah risiko dalam praktik alih daya. Pertama, soal hubungan kerja. Pada dasarnya hubungan kerja terjalin antara pekerja outsourcing dan perusahaan outsourcing. Tapi perusahaan outsourcing tidak merasakan langsung kinerja pekerjanya itu karena mereka ditempatkan bekerja pada perusahaan pengguna (user).
“Akibatnya perusahaan outsourcing tidak memiliki sense of belonging terhadap karyawannya itu,” kata Ahmad Maulana dalam kegiatan Webinar Ciptaker Series #2:Kupas Tuntas Tenaga Alih Daya (Outsourcing) Pasca UU Cipta Kerja, Selasa (7/6/2022).
Ahmad menyebut ada banyak aspek yang patut diperhatikan dalam hubungan ketenagakerjaan seperti upah, perlindungan jaminan sosial, pesangon ketika mengalami pemutusan hubungan kerja untuk pekerja tetap, dan kompensasi untuk pekerja kontrak. Komponen hak normatif pekerja itu sering dibebankan kepada perusahaan pengguna. Seharusnya berbagai kewajiban itu jadi tanggung jawab perusahaan outsourcing sebagai pemberi kerja.
“Tujuan awal perusahaan user menggunakan pekerja outsourcing adalah agar bisa mendapat karya (hasil kerja, red) dari pekerja tanpa terbebani dengan kewajiban sebagai pemberi kerja,” kata Ahmad.
Baca Juga:
- 5 Karakteristik Outsourcing yang Dihapus UU Cipta Kerja
- Mendorong Pembentukan UU Khusus Tentang Outsourcing
- 3 Ketentuan Ketenagakerjaan Krusial dalam UU Cipta Kerja
Alih-alih terbebas dari kewajiban itu, tapi Ahmad sering melihat dalam perjanjian antara perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna seringkali isinya mewajibkan beban normatif itu kepada perusahaan pengguna secara detail komponennya. Seharusnya hak normatif itu masuk dalam bentuk gelondongan termasuk fee manajemen yang dibayar oleh perusahaan pengguna. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko sengketa ketika perusahaan outsourcing tidak memenuhi kewajiban kepada pekerja, tapi mendorong pekerja outsourcing untuk memintanya kepada perusahaan pengguna.