Advokat dari Kantor Hukum Lucas Disebut dalam Sidang Eks Bos Lippo Group
Berita

Advokat dari Kantor Hukum Lucas Disebut dalam Sidang Eks Bos Lippo Group

Salah satu saksi mengaku meminta rekomendasi kepada Oscar mengenai kantor hukum yang dapat menjadi kuasa hukum PT AAL untuk mengajukan PK ke PN Jakpus.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Eddy Sindoro saat diperiksa KPK. Foto: RES
Eddy Sindoro saat diperiksa KPK. Foto: RES

"Saya lupa nama ini (kantor hukum) nya, tapi sama, saya minta referensi dari Pak Oscar dari kantor hukum Lucas," kalimat itu keluar dari mulut Wresti Kristian Hesti Susetyowati, bagian legal PT Artha Pratama Anugrah ketika menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (7/1).

 

Hesti bersama Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, Vika Andreani (Sekretaris Ervan) dan Wawan Sulistyawan (staf Hesti) diminta keterangannya sebagai saksi dengan terdakwa mantan bos Lippo Group, Eddy Sindoro.

 

Hesti memang tidak menyebut secara spesifik siapa Oscar yang dimaksud. Tetapi jika menelusuri laman lucasshpartners.com di bagian lawyers maka yang muncul adalah nama Oscar Sagita selaku Managing Partners.

 

Referensi yang dimaksud Hesti yaitu pemilihan kantor hukum yang disebut Jaksa KPK Abdul Basir yaitu Cakra & Co selaku kuasa hukum PT Accross Asia Limited (AAL) untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya kuasa hukum PT AAL adalah kantor hukum Marx & Co.

 

"Apakah kemudian Oscar sama, menyerahkan nama Law Firm Cakra & Co?" tanya Jaksa Basir.

 

Hesti awalnya mengaku lupa nama kantor hukum tersebut, namun ia merasa nama kantor hukum yang diajukan memang nama yang dimaksud. Meskipun begitu saat Jaksa Basir menyebutkan satu persatu nama personil kantor hukum Cakra & Co, ia mengaku tidak mengetahui secara rinci.

 

Hukumonline pun mengonfirmasi perihal rekomendasi tersebut kepada Oscar Sagita, namun ia membantahnya. "Tidak," kata Oscar melalu pesan WhatsApp. Namun saat ditanya apakah ia mengenal Hesti, hingga berita ini terbit, Oscar belum memberikan jawaban.

 

Baca:

 

Beri uang AS$50 ribu

Dalam surat dakwaan disebut dua orang perwakilan advokat dari kantor hukum Cakra & Co menemui Edy Nasution dan menyampaikan akan mengajukan pendaftaran PK dan meminta salinan asli putusan Kasasi perkara kepailitan PT AAL. Dalam pertemuan itu, salah satu advokat juga menyampaikan merekalah kuasa hukum PT AAL yang baru dan belum pernah menerima salinan putusan.

 

Pada tanggal 25 Februari 2016, Edy Nasution menyampaikan putusan kasasi kepada kuasa hukum yang baru dan dilampirkan pencabutan kuasa yang lama. Atas hal itu advokat CCO berinisial AGS memberikan uang kepada Edy Nasution sejumlah AS$50 ribu yang dibungkus dalam amplop warna coklat.

 

“Selanjutnya Edy Nasution memerintahkan Sarwo Edy dan Irdiansyah agar jika ada permohonan PK dari PT AAL yang baru agar diproses seperti biasa, dan memberikan uang kepada Sarwo Edy dan Irdiansyah sejumlah Sing$4 ribu,” kata penuntut umum pada KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12).

 

Pemberian uang AS$50 ribu itu tidak lepas dari permintaan Edy Nasution. Sebab menurut Hesti seharusnya permohonan PK itu sudah tidak bisa karena telah melewati batas waktu, nah permintaan Edy ketika itu yaitu Rp500 juta. "Tapi ya udahlah saya bantu, kasih anak-anak itu Rp500 juta," kata Hesti menirukan permintaan Edy.

 

Ceritanya begini, berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.

 

Namun sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud Pasal 295 ayat (2) UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan PK. Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan tanggal 15 Februari 2016 memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk mengupayakan pengajuan PK. Hesti pun menemui Edy Nasution untuk meminta hal tersebut meskipun batas waktu telah lewat dengan menjanjikan imbalan, Edy menyanggupinya dengan meminta imbalan Rp500 juta.

 

Selain pengajuan PK, Eddy Sindoro juga didakwa memberikan suap sebesar Rp150 juta kepada panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution. Menurut jaksa, uang tersebut diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP).

Tags:

Berita Terkait