Advokat Bergaji Dolar Khawatir Dipidana
Utama

Advokat Bergaji Dolar Khawatir Dipidana

Polisi akan berikan waktu sosialisasi.

M Vareno Tarnes
Bacaan 2 Menit
UU Mata Uang merisaukan sebagian kalangan advokat.<br>Foto: Sgp
UU Mata Uang merisaukan sebagian kalangan advokat.<br>Foto: Sgp

Diundangkannya UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang akhir Juni lalu menimbulkan kegelisahan di kalangan advokat. Bukan rahasia umum, banyak advokat di Indonesia yang menerima gaji dalam mata uang dollar AS. Sementara, undang-undang ini melarang setiap orang menerima pembayaran selain rupiah, bahkan ada konsekuensi pidananya. Sedari awal undang-undang disetujui di DPR, advokat memang menjadi salah satu profesi yang ‘terancam’.

 

Demikian kesan yang tertangkap dalam Seminar Menghadapi Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing dalam Transaksi Bisnis di Indonesia, Kamis lalu di Jakarta. Banyak hadirin, yang sebagian besar advokat, mempertanyakan mekanisme kewajiban pemakaian rupiah dalam transaksi pembayaran.

 

“Bagaimana perjanjian kerja yang memakai dolar dan gaji diterima dengan dolar, apakah melanggar undang-undang ini dan bisa dipidanakan?” demikian pertanyaan beberapa advokat.

 

Menurut Ketua Panitia Khusus UU Mata Uang DPR, Achsanul Qosasi, gaji termasuk transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. “Karena itu tentu saja wajib menggunakan rupiah,” katanya.

 

Meski demikian, Achsanul tidak menjelaskan apakah penggunaan rupiah tersebut hanya pada saat pembayaran gaji atau wajib pula dalam perjanjian kerja. Ia berdalih hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang.

 

“Kita tidak atur. Kalau diatur, lebih kencang yang mempermasalahkan nantinya. Nanti malah tidak jelas, karena ini (undang-undang) merupakan wilayah politik. Tapi saya pertegas, tidak ada orang di Indonesia yang bergaji dolar dengan undang-undang ini,” tandasnya.

 

Penegasan seperti ini justru mengkhawatirkan beberapa kalangan. Persoalannya, ada implikasi pidana bagi mereka yang menerima dolar dalam transaksi pembayaran. Jika merujuk pada pernyataan Achasanul, gaji dalam bentuk dolar tentu termasuk yang dapat dipidana.

 

Pasal 21

(1)Rupiah wajib digunakan dalam:

a.setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b.penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c.transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Pasal 33

(1)Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a.setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b.penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c.transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Kekhawatiran dipidanakan akibat bergaji dolar ditepis Kombes Agung Setya, Direktur Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Menurutnya, polisi memang sudah bisa melakukan penyidikan segera karena undang-undang ini sudah berlaku. “Namun, kita inginkan penegakan hukum yang bermanfaat,” katanya.

 

Agung menyatakan, polisi mengakomodir masa sosialisasi kewajiban penggunaan rupiah dalam undang-undang ini. Karena itu, ia berharap pemerintah bisa menjalankan proses sosialisasi dengan baik. “Agar masyarakat tidak terkaget-kaget (bahwa gaji dolar tidak diperbolehkan),” ujarnya.

 

Agung menegaskan kepolisian menginginkan penegakan hukum yang berkonsep, agar bukan hanya tujuan hukum yang tercapai, juga manfaat hukum. Meski demikian, ia menegaskan kesiapan aparat kepolisian untuk menyidik persoalan penggunaan rupiah ini. “Unit penyidik fiskal moneter itu sudah ada di setiap polda di seluruh Indonesia,” katanya.

 

Sejalan dengan itu, Agung juga berharap kesadaran masyarakat, termasuk advokat mengenai kewajiban penggunaan rupiah ini terus meningkat. “Masyarakat juga perlu tumbuh kesadarannya memakai rupiah sejalan dengan undang-undang ini. Penegakan hukum kan juga tergantung kesadaran hukum masyarakat,” pungkasnya. 

 

Tags: