(Advokat) Asing Bukan Keniscayaan
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

(Advokat) Asing Bukan Keniscayaan

Kisah ketiga kantor hukum ini menunjukan, memikat klien asing dan membangun reputasi dapat dilakukan dengan/tanpa harus menggandeng law firm atau advokat asing. Makanya, saat ini masing-masing kantor hukum mengalami pergeseran peran dalam menyikapi kemitraan dengan firma hukum asing atau advokat asing.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Mochtar, Kirkwood & Karuwin (MKK) boleh jadi merupakan firma hukum (law firm) Indonesia generasi 1970-an pertama yang mempekerjakan advokat asing. Namun, mengingat efek dari UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang membuka "keran" investasi asing di Indonesia, "tren" serupa mulai menjalar ke sejumlah law firm.

 

Salah satu law firm besar kala itu yang juga ikut mempekerjakan advokat asing adalah Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA). Pada tahun 1982, ABNA mendirikan sebuah divisi korporat yang diberi nama Nasution, Lubis, Hadiputranto (NLH). Nama itu diambil dari nama belakang Adnan Buyung Nasution, Timbul Thomas Lubis, dan Sri Indrastuti Hadiputranto.

 

Pendiri Assegaf, Hamzah & Partners (AHP), Ahmad Fikri Assegaf dalam tulisannya di Jurnal Hukum & Pasar Modal Volume VII/Edisi 10 Juli-Desember 2015 yang berjudul “Besar Itu Perlu: Perkembangan Kantor Advokat di Indonesia dan Tantangannya”,  mengungkapkan bahwa ABNA dibantu oleh tiga advokat asing.

 

Tiga advokat asing dimaksud adalah Neil Naliboff dan Peter Church yang masing-masing memiliki pengalaman di kantor advokat Amerika Serikat dan Australia, serta Timothy Manring yang sebelumnya bekerja di Ford Foundation. Baca Juga: Menelusuri Jejak Kantor Advokat Modern Generasi Pertama

 

Adanya "jejak" advokat asing di ABNA dibenarkan pula oleh Managing Partner sekaligus pendiri law firm Lubis, Ganie, Surowidjojo (LGS), Mohamed Idwan Ganie. Pria yang akrab disapa Kiki Ganie dan bekerja di ABNA sejak 1977 ini mengatakan, sejak dulu sudah ada dua advokat asing yang bekerja di ABNA.

 

"Kalau asing ada, dua orang (advokat) asing kerja di situ. Neil Naliboff (almarhum) sama Timothy Manring, itu suaminya Mbak Tuti (Sri Indrastuti Hadiputranto, pendiri Hadiputranto, Hadinoto & Partners atau HHP)," katanya kepada Hukumonline di kantornya, Selasa (31/10).

 

Hukumonline.com

Managing Partner LGS Mohamed Idwan Ganie. Foto: NOV

 

Setelah ke luar dari ABNA, Kiki Ganie bersama Arief Tarunakarya Surowidjojo bergabung dengan dua "alumni" ABNA lainnya, Timbul Thomas Lubis dan Sri Indrastuti Hadiputranto. Lalu, mereka mendirikan Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS). Saat pertama kali berdiri, LHGS juga sudah menggandeng advokat asing dari Baker & McKenzie, Timothy Manring.

 

Lalu, advokat asing di LHGS bertambah satu lagi dengan masuknya Duane J Gingerich. Tak cukup menggandeng law firm top dunia sekaliber Baker & McKenzie, LHGS juga bermitra dengan law firm asing besar lain asal Amerika Serikat, Graham & James. Kala itu, mungkin baru LHGS kantor hukum lokal yang bermitra dengan dua law firm asing besar sekaligus.

 

Menurut Kiki Ganie, ide kemitraan LHGS dengan law firm asing bermula darinya. Ada sejumlah hal yang melatarbelakangi ide tersebut. Pertama, sejak awal LHGS ingin menjadi institusi atau semacam "national flag carrier". Kedua, ia melihat sudah ada gejala-gejala law firm  beroperasi di Indonesia, meski secara tidak langsung.

 

"Seperti, pemerintah saja pakai White & Case waktu itu. Memang lawyer-nya pemerintah saat itu. Jadi, saya (melakukan) approach (pendekatan dengan) Baker & McKenzie. Ada partner-nya disitu, namanya Mark Goetze (sudah tutup usia). Lalu, kita berdua bikin association dengan Baker & McKezie," ujarnya.

 

Dahulu, kata Kiki Ganie, investasi asing masih sangat "kencang", sehingga banyak klien asing hilir mudik ke Indonesia. Nah, advokat asing itulah yang menemani klien asing selama berada di Indonesia. Namun, situasi berubah. Bukan hanya asing yang berinvestasi di dalam negeri, melainkan sudah banyak orang Indonesia yang berinvestasi di luar negeri. Lama-kelamaan, para advokat dari kantor hukum lokal yang menemani klien Indonesia di luar negeri.

 

Seiring waktu, kemitraan LHGS dengan kedua law firm asing itu tak bertahan lama. Baker & Mc Kenzie digandeng Sri Indrastuti Hadiputranto yang membuka kantor hukum HHP bersama Tuti Dewi Hadinoto. Sementara, Graham & James digandeng Al Hakim Hanafiah dan Constant Marino Ponggawa yang akhirnya mendirikan Hanafiah & Ponggawa bersama Dewi Suharto.

 

Tersisa, Timbul Thomas Lubis, Kiki Ganie, dan Arief Tarunakarya Surowidjojo. Nama pun LHGS berganti menjadi LGS. Sepeninggalan Baker & McKenzie dan Graham & James, LGS berjalan tanpa asosiasi dengan law firm atau advokat asing. Menghadapi kondisi seperti itu, Kiki Ganie justru merasa senang karena bermitra dengan asing relatif banyak terjadi friksi.

 

"Itu kondisi saat itu. Kalau saat ini, kita mungkin satu-satunya law firm agak besar yang tidak ada lawyer asing. Bukan karena anti, tapi kita anggap lawyer Indonesia sudah cukup, sama kok. Maksudnya, kalau kita ngomong proyek Indonesia, bahasa Indonesia, dan hukum Indonesia, saya kira apa peranannya (lawyer asing) juga," terangnya.

 

Kantor hukum generasi 1980-an lain yang juga memutuskan untuk tidak lagi bermitra dengan law firm atau advokat asing adalah Lubis, Santosa, Maulana (LSM), sekarang berganti nama menjadi Lubis, Santosa, Maramis. Kantor hukum yang didirikan oleh Todung Mulya Lubis ini sempat dua kali berafiliasi dengan law firm asing. Pertama, pada tahun 1992, dan kedua pada 2001.

 

Meski enggan mengungkapkan law firm asing mana yang dimaksud, Todung mengatakan, sejak awal, kantor hukumnya tidak terlalu antusias untuk menjalin hubungan afiliasi dengan law firm  asing. Namun, memang, dalam perjalanan, kantor hukum Todung pernah dua kali berafiliasi dengan law firm  asing.

 

Alasan Todung memutuskan tidak lagi berafiliasi dengan law firm asing karena ruang geraknya lebih terbatas. "Kita merasa akan lebih independen kalau tidak berafiliasi dengan law firm lain dan kita bisa bekerja sama dengan semua law firm di dalam maupun di luar negeri. Karena itu, hubungan kita baik dengan semua big law firm di Singapura, di Tokyo, di London. Hubungan kita baik, karena kita tidak pernah mengikatkan diri," ujarnya.

 

Dengan demikian, kemitraan kantor hukum lokal dengan law firm atau advokat asing bukan menjadi sebuah keniscayaan. Akan tetapi, bila ada kantor hukum Indonesia yang masih merasa nyaman untuk terus bermitra dengan law firm atau advokat asing, tentu sah-sah saja.

 

Seperti HPP. Sejak berdiri di tahun 1989, kantor hukum generasi 1980-an yang juga lahir dari "rahim" ABNA ini konsisten bermitra dengan law firm papan atas Amerika Serikat, Baker & McKenzie. Hingga kini, HHP tercatat sebagai member firm dari Baker & McKenzie International.

 

Berdasarkan data yang diperoleh Hukumonline dari Direktorat Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen AHU Kemenkumham), HHP juga tercatat mempekerjakan sejumlah advokat asing. Sama halnya dengan LGS, meski sekarang sudah tidak lagi:

 

Kantor HukumAdvokat AsingKeterangan
2014201520162017

HHP

Norman Shirsinger Bisset, Luke David Devine, Mark Cyril Innis, Susan Elisabeth Beaumont, Bruce John Leishman

Bruce John Leishman, Luke David Devine, Mark Cyril Innis, Susan Elisabeth Beaumont, Norman Shirsinger Bisset

Mark Cyril Innis, Luke David Devine, Susan Elisabeth Beaumont, Norman Shirsinger Bisset

 Gerrit Jan Kleute (izin baru)

Belum ada data siapa saja advokat asing yang mendapat perpanjangan izin pada tahun 2017

LGS

Filipp Levin

Filipp Levin

Filipp Levin

X

Tidak lagi bekerja di LGS per 1 Agustus 2016

LSM

X

X

X

X

Hanya pernah dua kali berafiliasi dengan law firm asing di tahun 1992 dan 2001

Sumber : Diolah dari data Direktorat Jenderal AHU dan hasil wawancara Hukumonline dengan Todung Mulya Lubis

 

Managing Partner HHP Timur Sukirno mengatakan, dahulu, HHP menjadi semacam aliansi dari Baker & McKenzie. Ketika itu, kemitraan kantor hukum lokal dengan law firm asing besar masih sangat jarang.  

 

"Tidak seperti sekarang. Sekarang sudah banyak. Waktu dulu baru kita saja. Kita yakin dengan kemampuan kita untuk menguasai law firm Indonesia dengan sempurna yang akan membawa benefit kepada klien-klien yang bisa di-refer ke kita. Dan, kita bisa belajar dari perkembangan hukum yang ada di luar," tuturnya.

 

Kemitraan HHP dan Baker & McKenzie terbilang awet. Sudah sekitar 28 tahun HHP bermitra dengan Baker & McKenzie. Bila ada kemitraan yang "bubar jalan" karena permasalahan pembagian honorarium atau fee yang tidak adil, tidak begitu dengan HHP.  

 

Menurut Timur, HHP memiliki sistem pembagian honorarium atau fee dengan kriteria penilaian objektif dan subjektif. Bukan hanya terhadap advokat asing, tetapi terhadap semua advokat di HHP, termasuk partner. Penilaian terhadap partner di HHP dapat dilihat dari jumlah klien atau pekerjaan yang didapat.  

 

"Masuknya sebagai income. Itu dilihat dari objektifnya. Terus, juga (dilihat) kontribusinya terhadap perkembangan kantornya, segala macam, karena harus diakui masing-masing mempunyai kontribusi sendiri-sendiri. Dan, kita lihat dari bagaimana partner atau mitra mendapatkan pekerjaan (sesuai) bidang spesialisasinya," ungkapnya. Baca Juga: Kiprah SSEK dan ‘Warisan’ Advokat Asing

 

Lantas, berapa pembagian persentase honorarium atau fee yang akan mereka terima? Timur menjelaskan, penentuan jumlah persentase lebih ke arah subjektif. Jadi, diantara partner akan memilih sekitar tiga atau lima orang untuk menentukan pembagian persentase sesuai dengan kontribusi mereka masing-masing.

 

"Kalau partnership, di situ test of partnership. Sebab, siapa yang tidak role of time... Manusia tidak puas, bisa juga demikian. Tapi, kalau sudah mature partnership-nya dan melihat ke depan, bisa saja nanti tahun berikutnya di nomor satu, kemudian turun ke bawah, bisa. Jadi, kalau di-avarage out, dipukul rata, ya lumayanlah, pendapatan mereka per tahunnya," ujarnya.

Hukumonline.com

Keluarga Besar HHP dan Baker & McKenzie. Foto: Dokumentasi HHP

 

Memikat klien asing dan transformasi kebijakan

Kala PMA masih berjaya, komposisi jumlah klien di sejumlah kantor hukum lokal "didominasi" oleh klien-klien asing. LGS, HHP, dan LSM pun sempat merasakan "kebanjiran" klien asing. Salah satu pembuka "jalan" bagi kantor hukum lokal untuk menjaring klien asing adalah dengan bermitra atau berafiliasi dengan law firm asing.

 

Timur melanjutkan, kemitraan dengan law firm asing memang merupakan salah satu marketing tools untuk memikat klien asing. Tentu, PMA membutuhkan advokat untuk memberikan nasihat hukum mengenai bagaimana cara membentuk perusahaan, berkontrak, mengaplikasikan kontrak ke dalam peraturan-peraturan di Indonesia, serta bagaimana bila suatu hari nanti terjadi sengketa.

 

"Untuk mempercepat kepercayaan terhadap lawyer Indonesia, selain lawyer Indonesia itu juga harus pintar, pandai berbahasa Inggris, mereka juga akan lebih nyaman apabila ada yang membantu mereka untuk menerangkan pemikirannya itu kepada mitra-mitranya mereka. (Itu latar belakang) Kenapa bermitra (dengan law firm asing)," ujarnya.

 

Namun, tak selamanya klien asing "merajai" pangsa pasar HHP. Timur mengaku, sekarang komposisi klien lokal dan asing di HHP sudah sekitar 50 : 50. Hal itu dipengaruhi oleh transformasi kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengeluarkan seperangkat peraturan di bidang pasar modal dan lembaga-lembaga penunjangnya pada tahun 1989 s.d. 1990-an, HHP ikut berkontribusi membuat due diligence (uji tuntas).

 

"List due dilligence yang ada di dalam OJK sekarang namanya, dulu namanya Bapepam, originally tuh dari kita. Kita ikut men-develop itu sampai sekarang. Originally due dilligence yang kita buat untuk mengevaluasi legal dari company yang mau Initial Public Offering (IPO), istilah dulu namanya go public, (sekarang) penawaran saham perdana," tuturnya.

 

Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.60 Tahun 1988 tentang Pasar Modal. Keppres itu merestrukturisasi Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Kemudian, melalui Keppres No.53 Tahun 1990 tentang Pasar Modal, Bapepam bertransformasi lagi menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sampai akhirnya kini menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Pangsa pasar HHP pun berkembang ke sektor pertambangan, perkebunan, intellectual property (dalam hal ini merek), perbankan, dan sektor-sektor lain. Kendati demikian, Timur menegaskan, pengaruh HHP di pasar modal sangat kental, bahkan hingga saat ini. HHP banyak mewakili perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal.

 

"Tapi, HHP kemudian yang mengambil kebijaksanaan untuk menjadi all round legal service provider, yaitu kita melihat bukan hanya satu sektor, tapi juga beberapa sektor, full service namanya," imbuhnya.

 

Soal kemitraan dengan law firm asing, Kiki Ganie juga punya pandangan serupa. Ia membenarkan dahulu kemitraan LHGS dengan law firm asing lebih pada marketing network untuk menjaring klien asing. Kala itu, pengusaha-pengusaha lokal masih belum begitu berarti. Kalaupun ada pengusaha lokal bermitra dengan asing, biasanya mereka hanya pemegang saham minoritas atau mendapat modal dari asing. Wajar jika pengambil kebijakan dalam usaha tersebut adalah asing.

 

"Dan asing biasanya menggandeng lawyer asing. Kalau kita baru nyari di Indonesia, sudah keburu diambil sama (law firm) asing, terjaring di luar kan. (Dulu) Kita lihat network yang paling besar siapa. Baker & McKenzie," akunya.

 

Namun, pada pertengahan 1980-an, sambung Kiki Ganie, kantor hukumnya memutuskan untuk mengubah pangsa pasar menjadi klien domestik. Sebab, lama-kelamaan, pangsa pasar nasional justru lebih besar ketimbang asing. Proyek-proyek juga lebih banyak dikerjakan oleh pengusaha lokal, sedangkan proyek yang dikerjakan pengusaha asing bisa dihitung dengan jari.

 

Mengikuti arah kebijakan pemerintah, pangsa pasar LGS ikut berkembang ke sektor pertambangan. Kiki Ganie melanjutkan, hampir semua perusahaan tambang batubara diwakili oleh LGS. Bedanya dengan kantor hukum besar lain yang kebanyakan berkiprah ke Amerika Serikat dan Eropa, LGS lebih memilih berkiprah ke Asia, terutama Jepang. "Sejak itu, klien Jepang mungkin klien asing kita yang terbanyak," akunya.

 

Pada akhir 1990-an, Indonesia mengalami krisis moneter. Banyak bank "gulung tikar", banyak pula yang mendapatkan kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan "berakhir" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kondisi ini berpengaruh pada perkembangan pangsa pasar dan spesialisasi kantor hukum. Banyak dari mereka mulai merambah sektor perbankan dan kepailitan, khususnya restrukturisasi utang.

 

"Jadi, sebetulnya (kantor hukum) ikut situasi yang ada. Memang benar bahwa situasi jelek secara ekonomi, mungkin untuk rakyat jelek, untuk ekonomi jelek, tetapi untuk lawyer bagus gitu kan. Saya kira banyak law firm tumbuh dan makmur waktu BPPN itu," kata Kiki Ganie.

 

"Berkah" kemenangan TIME vs Soeharto

Todung mengatakan, pasca krisis ekonomi tahun 1998, banyak pekerjaan LSM yang mendapat sorotan. LSM menjadi konsultan hukum dari BPPN untuk menangani semua asset disposal (penghapusan aset) dari obligor-obligor BLBI yang bermasalah.

 

LSM sendiri memulai kiprahnya dengan menawarkan layanan hukum untuk corporate work kepada perusahaan-perusahaan lokal. Ketika itu, LSM belum dikenal dan masih menggunakan sistem retainer. Kemudian, LSM mulai membagi jasa layanan hukum pada tiga bidang, yaitu corporate commercial dispute, resolution, dan intellectual property yang sampai saat ini masih dilakoni LSM.

 

"Pekerjaan kita kecil-kecil pada waktu itu. Relatif, rata-rata semua klien Indonesia. Kita hampir tidak punya klien asing. Kita mulai mendapatkan pekerjaan-pekerjaan klien asing sebetulnya sejak tahun 1991-1992. Sebelumnya, hampir semua klien Indonesia, kecuali Citibank dan satu bank Jepang. Kita, Citibank cukup lama pada waktu itu, memberikan pekerjaan-pekerjaan hukum korporasi," ujarnya.

 

Seiring waktu berjalan, LSM lebih banyak menangani klien asing. Bahkan, pernah suatu waktu, klien LSM 99 persen asing dan hampir tidak ada klien Indonesia. "Sekarang sih mungkin klien asing kita sekitar 80 persen, sisanya Indonesia," imbuh Todung.

 

Reputasi LSM betul-betul melejit di kancah dunia internasional ketika menjadi kuasa hukum majalah asal Amerika Serikat, TIME melawan mantan Presiden Soeharto. Kala itu, Soeharto menggugat TIME karena dianggap telah membuat pemberitaan yang mencemarkan nama baiknya. Namun, pengadilan tingkat pertama dan banding menolak gugatan Soeharto. Soeharto sempat menang di tingkat kasasi, tetapi di tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung kembali memenangkan TIME.

 

Kemenangan TIME membuat nama LSM menghiasi pemberitaan-pemberitaan internasional. Todung merasa, sejak itulah LSM dikenal sebagai kantor hukum yang berhasil memenangkan perkara melawan mantan Presiden Soeharto. LSM pun mulai menangani banyak klien asing besar, seperti Exxon, BP, Conoco Phillips, Chevron, Freeport, Newmont, dan Kaltim Prima Coal sampai ke arbitrase di London.

 

Todung membeberkan, dulu, hampir semua perusahaan-perusahaan pertambangan adalah klien LSM. Cuma, dalam perjalanannya, bisnis tambang mengalami pasang surut. Perusahaan-perusahaan tambang mulai memangkas pekerjaan-pekerjaan hukum mereka dan lebih memilih menggunakan in house counsel.

 

"Sekarang kita banyak menangani perusahaan-perusahaan konstruksi, terutama dari Jepang. Jadi, sekarang ini kita lebih banyak managing, handling klien-klien yang datang dari Jepang ke Indonesia," katanya.

Tags:

Berita Terkait