Adu Kuat Replik-Duplik Kasus Gugatan ABNR
Berita

Adu Kuat Replik-Duplik Kasus Gugatan ABNR

Penggugat menganggap perkara ini bukan ranah arbitrase. Sebaliknya, Tergugat berpendapat kasus ini harus diselesaikan pengadilan arbitrase.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL
PN Jakarta Selatan. Foto: HOL

Kasus dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dituduhkan penggugat kepada kantor hukum ABNR, Philip R Payne, dan Ricky S Nazir, terus berlanjut. Setelah pihak ABNR memberikan jawaban dan juga eksepsi kompetensi absolut, kini giliran Penggugat yaitu Harsono Amidjojo, PT Harsco Dana Abadi dan PT Anugrah Tunas Asia menanggapinya melalui replik. Melalui kuasa hukum dari Kantor hukum Radhie Misbach Atmasasmita (RMA), penggugat membantah semua dalil yang diajukan para tergugat.

Dalam repliknya, Radhie Noviadi Yusuf dari kantor hukum RMA menyatakan pihak penggugat menolak dengan tegas seluruh dalil yang dikemukakan oleh para Tergugat dalam jawabannya termasuk pada kompetensi absolut. Terkecuali beberapa poin yang secara tegas diakui Penggugat dan terbukti kebenarannya secara hukum.

Menurut Radhie, dalil para Tergugat di dalam eksepsi absolut menyatakan inti pokok dari surat gugatan adalah para Penggugat mendalilkan terjadinya pemutusan yang tidak sah atas Perjanjian Share Holder Agreement (SHA) tertanggal 31 Juli 2013 yang menimbulkan kerugian kepada para Penggugat. Dalil Tergugat dengan jelas menyatakan pihak dalam Perjanjian SHA adalah Penggugat I dan II serta PT Kharisma Bumi Persada.

“Tidak pernah para Tergugat di dalam argumentasinya menyatakan pihak dalam Perjanjian SHA adalah para Penggugat dengan Tergugat,” ujar Radhie seperti termuat dalam salinan dokumen replik yang diperoleh hukumonline.

(Baca juga: Mediasi Gagal, Sidang Gugatan Terhadap Kantor Hukum Ternama Berlanjut).

Tergugat, kata Radhie, juga keliru dalam membaca gugatan sebab objeknya bukan tentang perbuatan pemutusan yang tidak sah terhadap Perjanjian SHA. Tetapi perbuatan Tergugat I dan II dalam memberikan jasa hukum dianggap menyalahi aturan karena lebih berpihak pada Noble Group salah satunya yaitu tidak jujur dan berpura-pura menjadi kuasa hukum para Penggugat tanpa menyampaikan isi pesan elektronik dari Noble yang intinya Tergugat I dan II bekerja untuk kepentingan Noble Group.

Tergugat III selaku komisaris dianggap telah berbohong tentang keadaan joint venture kepada pihak ketiga padahal seharusnya ia mengetahui sebagai komisaris tidak bisa bertindak keluar mengatasnamakan perseroan serta mengetahui joint venture telah terlaksana. Dalam hal ini Tergugat I yang dimaksud adalah Kantor hukum ABNR, Tergugat II Philip R. Payne dan Tergugat III Ricky S. Nazir. Sedangkan pihak Penggugat I yaitu PT Harsco Dana Abadi, Penggugat II PT Anugrah Tunas Asia dan Penggugat III yaitu Harsono Amidjojo.

(Baca juga: Isu Klausula Arbitrase dalam Kasus Gugatan Terhadap Firma Hukum).

Radhie kembali mempertegas jika gugatan yang dilayangkan kliennya sudah sesuai dengan  peraturan perundang-undangan dan sama sekali tidak masuk dalam klausul arbitrase yang ada di perjanjian. Ia pun mengutip beberapa aturan hukum yang mengatur mengenai hal ini. Pertama Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian yang pertama adalah adanya persetujuan para pihak dengan mendalilkan berlakunya ketentuan arbitrase dalam Pasal 17.13 Perjanjian SHA maka para Tergugat menyatakan Perjanjian SHA adalah perjanjian yang sah. Selanjutnya Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

“Para penggugat sangat jelas menyatakan pihak dalam Perjanjian SHA adalah Penggugat I, II dan PT Kharisma Bumu Persada, bahkan dalam eksepsi absolut para Tergugat tidak pernah menyatakan bahwa para Tergugat merupakan pihak dalam Perjanjian SHA. Perjanjian SHA tidak mengikat untuk para Tergugat melainkan para Penggugat dengan PT Kharisma Bumi Persada,” jelas Radhie.

Begitupula dengan jawaban Tergugat jika Penggugat tidak memiliki legal standing, karena tidak ada satupun tagihan yang dibayarkan para Tergugat. Sedangkan tagihan yang masuk ketika itu dianggap masih berupa konsep atau draft, Radhie membantah dengan tegas dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu eksepsi yang diajukan Tergugat yang tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan a quo dianggap keliru.

Radhie menyatakan pihaknya akan mengajukan sejumlah bukti berupa akta dan juga saksi bahwa invoice yang ditagihkan kepada Penggugat telah dibayarkan. Kemudian terkait dengan invoice yang tidak memiliki nomor juga masih merupakan draft atau konsep. Radhie juga membantahnya sebab invoice yang dikirimkan kepada PT Morris Energi tertanggal 14 Oktiber 2014 terkait pemberian jasa hukum “Termination Harris Project” juga tidak memiliki nomor tetapi tetap dibayarkan pihak Morris.

“Faktanya di dalam invoice yang menurut Para Tergugat draft tidak pernah tercantum satupun petunjuk bahwa dokumen invoice merupakan draft, faktanya dokumen invoice dibuat tanpa ada tulisan draft dan telah ditandatangani oleh penagih,” terang Radhie.

Pengiriman invoice yang dilakukan Tergugat, menurut Radhie justru membuktikan adanya hubungan antara Tergugat dengan Penggugat. “Para Tergugat dalam memberikan jawaban pada bagian eksepsi kedua secara tegas mengakui telah mengirimkan invoice kepada Para Penggugat meski para Tergugat berdalih invoice yang dikirimkan merupakan draft invoice,” sambungnya.

Setelah replik, pihak Tergugat pun mempunyai kesempatan memberikan tanggapannya melalui duplik. Kepada hukumonline, kuasa hukum para Tergugat, Yefikha dari kantor Hukum Hotman Paris & Partner tidak menjelaskan secara rinci mengenai materi duplik yang diberikan kepada majelis. Inti dari duplik tersebut menurut Fikha adalah bantahan dari replik yang diajukan Penggugat.

“Kita juga menanggapi. Kan kita juga ajukan eksepsi kompetensi absolut, kita memberikan bukti-bukti terkait kompetensi absolut. Tadi kan kita juga menyerahkan bukti-bukti, untuk bukti awal kompetensi absolut,” pungkas Fikha seusai penyerahan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/11).

Fikha juga bersikeras jika gugatan yang diajukan terhadap kliennya ini salah alamat karena bukan merupakan ranah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melainkan pengadilan arbitrase Singapura. Argumen ini didasarkan pada dokumen perjanjian SHA yang telah ditandatangi jika setiap perselisihan diselesaikan melalui arbitrase.

“Kita memberikan bukti awal bahwa itu harus digugat di arbitrase di Singapura. Perjanjian itu sendiri SHA, kalau dibaca ada klausul perselisihan harus diselesaikan di SIAC,” ujar Fikha. Sedangkan saat ditanya mengenai invoice yang dikirimkan dianggap penggugat sebagai tagihan yang sah menurut Fikha hal tersebut hanyalah asumsi dari pihak Penggugat. “Kita punya pembelaan (invoice) itu sebagai draft saja,” tutup Fikha.

Tags:

Berita Terkait