Adu Ahli dalam Pengujian UU Penodaan Agama
Berita

Adu Ahli dalam Pengujian UU Penodaan Agama

Ada yang menyatakan UU Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945. Ada yang berpendapat UU Penodaan Agama justru melindungi kebebasan beragama.

ASh
Bacaan 2 Menit

 

Pemeriksaan sejumlah ahli itu sehubungan dengan permohonan uji materil UU Penodaan Agama yang dilayangkan sejumlah aktivis kebebasan beragama yakni (Alm) Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawan Rahardjo, dan Maman Imamnul Haq. Mereka meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 1 hingga Pasal 4 UU Penodaan Agama yang dinilai berpotensi melanggar kebebasan beragama sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945. 

 

UU itu yang kerap digunakan pemerintah untuk melarang sejumlah aliran keagamaan yang dinilai melenceng dari agama resmi yang diakui pemerintah. Seperti kasus aliran kepercayaan Ahmadiyah dan Komunitas Eden, ajaran Salamullah, yang dianggap aliran sesat oleh sebagian besar kalangan Islam.                   

 

Tak bertentangan

Berbeda dengan Lutfie, Mudzakkir berpendapat Pasal 1 UU Penodaan Agama, tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan internal ajaran agama. Sebab, parameter menyimpang atau tidak menyimpang ajaran agama bersumber dari kitab suci agama masing-masing. “Penyimpangan itu tentu saja dari kitab suci ajaran agama masing-masing, sehingga larangan ini tak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28E UUD 1945,” ujar Mudzakkir.  

 

Ia menegaskan pengakuan negara terhadap agama yang termuat dalam penjelasan Pasal 1 UU Penodaan Agama tidak dimaksudkan membatasi kebebasan seseorang beragama. Akan tetapi, lebih pada persoalan administrasi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara sebagai suatu agama yang diakui. Sama halnya, seperti partai politik yang tunduk pada UU Parpol yang pengakuannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM setelah memenuhi persyaratan.

 

Pasal 2 ayat (1), kata Mudzakkir, yang menyatakan bagi siapa yang melanggar Pasal 1 dan telah diperingati untuk menghentikan perbuatan itu dalam SKB antara Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi agama yang diakui. “Ini menjadi kewajiban negara untuk melindunginya agama yang diakui dari kemungkinan penyalahgunaan agama, sehingga tak bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945,” jelasnya.

 

Sementara Pasal 3, lanjutnya, pelanggaran perbuatan itu dipidana maksimal 5 tahun sebagai ultimum remedium dari sanksi administrasi. Ketentuan ini lazim dalam hukum pidana administrasi. Sebab, adanya sanksi pidana selalu dihubungkan dengan ketentuan administrasi dan jika pengenaan sanksi administrasi tak efektif, maka sanksi pidana dikenakan.

 

Menurutnya Pasal 3 tak terlepas dari Pasal 4, sehingga pengujiannya harus bersamaan dengan Pasal 4. Sedangkan Pasal 4 yang menyelipkan Pasal 156a KUHP adalah bentuk kriminalisasi terhadap perbuatan yang dianggap jahat. Seperti permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan terhadap agama. Pasal ini ia nilai tak bertentangan 28 jo 29 UUD 1945. “Jangankan terhadap agama, penodaan terhadap bendera dan lagu kebangsaan pun tak boleh, sehingga Pasal 1 hingga Pasal 4 sebagai ultimum remedium jika prosedur administratif tak bisa dihentikan,” tegasnya.  

Tags:

Berita Terkait