Uni Eropa adalah blok perdagangan terbesar. Sejumlah negara Uni Eropa juga berinvestasi langsung di Indonesia. Karena itu, Pemerintah berharap kerjasama CEPA ini bisa saling menguntungkan. Hingga kini sudah dilangsungkan putaran kedua negosiasi. (Baca juga: Konstitusionalitas Perjanjian Transpasific Partnership).
Meskipun demikian Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi mengingatkan Pemerintah untuk berhati-hati sebelum benar-benar menandatangani CEPA dengan Uni Eropa. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, misalnya, memberi catatan kritis pada isu perlindungan investasi asing, kepabeanan dan penguatan perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI). Ia mengingatkan Pemerintah agar punya posisi tawar yang kuat merundingkan masalah-masalah tersebut. “Jangan sampai merugikan Indonesia,” ujarnya.
IGJ menaruh harap agar CEPA tidak menabrak sejumlah peraturan perundang-undangan nasional. Keberatan Uni Eropa terhadap labelisasi halal terhadap produk makanan, misalnya. Jika keberatan Uni Eropa ini dikabulkan, potensi menabrak UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal besar.
Poin lain adalah yang patut diperhatikan adalah aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Aturan ini sangat mungkin ditabrak dengan dalih untuk membuka investasi besar Uni Eropa, terutama di sektor transportasi dan maritim. (Baca juga: SKK Migas Kuat, Nasionalisme Terjaga).
Ketua Bidang Hukum DPP KNTI, Martin Hadiwinata, melihat rencana perjanjian CEPA Indonesia-Uni Eropa itu akan berdampak ke sektor perikanan. Dibukanya investasi asing di bidang perikanan tangkap akan menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap aumber daya laut. Tidak menutup kemungkinan perjanjian itu akan membuka industri pengelolaan ikan bagi investasi asing."Kalau begini yang diuntungkan bukan Indonesia tapi Uni Eropa," ujarnya.
Jika perjanjian itu membuka investasi asing di bidang perikanan tangkap Martin berpendapat orientasinya pasti ekspor. Padahal UU Perikanan mengatur sebelum produk perikanan Indonesia diekspor, pemerintah harus lebih dulu menetapkan standar kebutuhan domestik. Sayangnya sampai saat ini pemerintah belum membuat standar tersebut.
Peneliti Grain, Kartini Samon, melihat dalam perundingan perjanjian CEPA Indonesia-Uni Eropa itu menyinggung soal peternakan terutama impor hewan ternak seperti sapi. Dia mengingatkan ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Peternakan yang intinya melarang impor hewan ternak dari daerah yang belum bebas dari penyakit kaki dan mulut. Menurutnya sampai saat ini Uni Eropa belum ditetapkan sebagai wilayah yang bebas dari penyakit tersebut.
"Negara yang sudah dinyatakan bebas penyakit kaki dan mulut seperti Australia dan Selandia Baru. Jika Indonesia impor hewan ternak dari Uni Eropa maka berpotensi melanggar UU Peternakan," tukasnya.