Ada Upaya Membajak KPK Melalui Sejumlah Pasal di RUU KPK
Berita

Ada Upaya Membajak KPK Melalui Sejumlah Pasal di RUU KPK

Kewenangan KPK sengaja dibuat terbatas hanya menangani kasus korupsi paling sedikit Rp50 miliar. Struktur ‘dewan eksekutif’ hanya akan menambah birokrasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Badan Legislasi (Baleg) telah menggelar rapat pleno terkait dengan Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah kalangan menilai revisi UU KPK sebagai bentuk melemahkan pemberantasan korupsi dan kelembagaan.

“Ya kalau mereka walau enggak (terang-terangan-red), tapi hatinya paling dalam maunya KPK bubar. Kalau aku sebagai kader Partai Demokrat, tetap save KPK,” ujar anggota Komisi III DPR, Ruhut Sitompul, di Gedung DPR, Rabu (7/10).

Ia menilai sejumlah pihak yang mengusulkan revisi UU KPK menginginkan lembaga anti rasuah itu tidak lagi bercokol, alias dibubarkan. Dalam draf RUU KPK, setidaknya terdapat beberapa pasal yang diubah dalam rangka melemahkan KPK secara kelembagaan.

Pengusul RUU KPK antara lain Fraksi PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, Golkar, dan PPP. Dengan begitu, RUU KPK akhirnya disisipkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.

Anggota Baleg Al Muzzamil Yusuf menegaskan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menolak revisi dilakukan 2015. Menurutnya, sekalipun tetap dilakukan revisi, maka menjadi inisiatif pemerintah, bukan DPR. Sayangnya, sejumlah fraksi pengusul mengambil alih RUU KPK yang awalnya menjadi inisiatif pemerintah.

“Kami menolak revisi UU KPK inisiatif DPR. Jika pemerintah serius mengusulkan perubahan UU KPK silahkan ajukan revisi kepada DPR. Pemerintah akan mudah mengkoordinaskan lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memberikan masukan,” ujarnya.

Muzzamil yang tercatat sebagai anggota Komisi I itu berpandangan, sekalipun usulan perubahan UU KPK berasal dari pemerintah, maka fraksi-fraksi di DPR akan menanggapi sesuai dengan visinya masing-masing. Tentunya, melalui argumentasi dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dengan begitu, tak ada ruang abu-abu seolah semua setuju dengan rancangan perubahan UU KPK yang ada.

Kendati demikian, kata Muzzammil, tidak menutup kemungkinan adanya revisi UU KPK untuk menutupi kekurangan UU KPK bukan untuk melemahkan posisinya. Yakni agenda pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, F-PKS mengusulkan adanya komite etik permanen.

“Agar tidak terjadi politisasi dan kriminalisasi kasus di tubuh KPK. Jadi, jika ada oknum pimpinan atau pejabat KPK yang melanggar dapat langsung diberi sanksi tegas,” imbuh mantan Wakil Ketua Komisi III DPR periode 2009-2014 itu.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono, mengungkapkan keprihatinan atas sikap beberapa fraksi di Baleg yang berencana mengamandemen UU KPK. Meski RUU KPK sudah dihapus DPR  dari Prolegnas 2013, namun dapat dimungkinkan muncul kembali.

Ia berpandangan dalam rapat Baleg yang digelar Selasa (6/10), sejumlah anggota dewan berupaya meyakinkan bahwa mengamandemen UU KPK sebagai jalan tengah untuk memperkuat KPK.

Sebaliknya, Supri menilai adanya niatan untuk membajak KPK melalui perubahan sejumlah pasal. Misalnya, pertama, KPK dibuat secara adhoc dengan jangka waktu terbatas, yakni 12 tahun ke depan sejak disahkannya UU KPK hasil revisi. Ketentuan itu dinilai menyederhanakan persoalan penanganan korupsi seolah dapat diselesaikan dalam kurun waktu 12 tahun.

“Ketentuan ini juga menitikberatkan bahwa masalah penanganan korupsi hanya kepada penegakan hukum, bukan hanya kepada pencegahan,” ujarnya.

Kedua, kewenangan KPK sengaja dibuat terbatas hanya menangani kasus korupsi paling sedikit Rp50 miliar. Kondisi tersebut justru bakal mengecilkan peran KPK dalam jumlah penanganan kasus korupsi. Ketiga, naskah DPR dengan membuat struktur ‘dewan eksekutif’ di KPK berada di bawah komisioner. Menurutnya, pilihan tersebut tidak sesuai dengan struktur KPK sebagai lembaga negara. Sebaliknya, justru membuat birokrasi baru.

“Ketentuan ini sengaja melemahkan fungsi pimpinan KPK,” pungkasnya.

Tags: