Ada Subjek Hukum yang Dapat Lolos dari Jerat UU Pemilu
Berita

Ada Subjek Hukum yang Dapat Lolos dari Jerat UU Pemilu

Bermula dari politik hukum yang cenderung menomorduakan penegakan hukum pemilu.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyelenggaraan pemilu. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penyelenggaraan pemilu. Ilustrator: HGW

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan adanya problem regulasi dalam upaya penegakan hukum terhadap praktik politik uang dalam pemilihan umum (Pemilu). Problem regulasi itu berkaitan dengan kelemahan UU Pemilu yang bisa menyebabkan lolosnya subjek hukum tertentu dari jerat pidana UU Pemilu. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ketentuan mengenai politik uang dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengalami kemunduran.

 

Pandangan itu disampaikan Ketua Bawaslu, Abdhan. “Kalau kita bandingkan regulasi UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) dengan UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada), soal politik uang lebih progresif UU Pilkada,” ujarnya dalam diskusi terkait Antisipasi dan Penindakan Politik Uang dalam Pemilu 2019, di Jakarta, Senin (8/10).

 

Abhan memberi contoh tentang subjek hukum yang diatur. Dalam UU Pemilu, subyek hukum pemberi uang bisa dilihat dari tahapan-tahapan: kampanye, masa tenang, dan pemungutan suara. Pada tahap kampanye dan masa tenang, subyek pemberi uang yang diatur UU Pemilu hanya pelaksana, peserta, atau tim kampanye. Baru pada tahap pemungutan suara, subyek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”.

 

Ketentuan ini bukan tanpa masalah. Menurut Abhan, di lapangan ada orang di luar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye. Pihak di luar itu juga memiliki kepentingan atas menangnya salah satu pasangan calon presiden/calon wakil presiden atau calon anggota legislatif (caleg). Sejak tahap kampanye orang bersangkutan dapat saja memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada masyarakat pemilik hak suara.

 

(Baca juga: Bawaslu Pantau 177 Daerah Rawan Praktik Politik Uang)

 

Orang dengan kategori seperti ini tidak dapat ditindak oleh Bawaslu karena UU Pemilu memberi celah selama masa kampanye dan masa tenang berlangsung. Celah seperti ini tidak terdapat dalam UU Pilkada. UU Pilkada tidak mengatur pembagian tahapan dalam konteks praktik politik uang. UU Pilkada sedari awal langsung mengatur ketentuan subyek pemberi dengan nomenklatur “setiap orang”.

 

Selain ketentuan subyek hukum pemberi politik uang, Abhan menyebutkan problem regulasi lain. Dalam UU Pilkada, ketentuan larangan praktik politik uang ditujukan kepada pemberi dan penerima uang atau materi lainnya. Sebaliknya, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan. Sementara penerima tidak diatur secara tegas. “Di UU Pilkada pemberi dan penerima uang bisa dikenakan sanksi. Kalau di UU pemilu tidak,” terang Abhan.

 

Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi kepada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 228 UU Pemilu, “Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

 

Selain itu, UU Pemilu tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap praktik mahar politik. Sebaliknya, UU Pilkada secara terang menyebutkan sanksi pidana terhadap oknum di partai politik yang menerima mahar politik. Pasal 187b UU Pilkada mengancam anggota parpol atau anggota gabungan parpol pidana penjara dan denda yang dengan sengaja melanggar ketentuan penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal 47. Ancamannya pun bisa denda hingga Rp50 miliar.

 

Melihat fenomena kemunduran substansi yang mengatur mengenai politik uang dalam UU Pemilu, menarik melihat kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam proses pembahasan UU Pemilu. Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi menggambarkan proses pembahasan RUU Pemilu di DPR. “Konsen pembahasan itu hanya terkait isu krusial yang berkaitan dengan kepentingan mereka,” ujar Veri.

 

Menurut Veri, ada problem politik hukum pembentukan UU Pemilu. Celah yang hari ini ada dalam UU Pemilu bisa diprediksi karena bobot UU Pemilu yang syarat kepentingan politik. Porsi pembahasan lebih banyak difokuskan pada substansi yang berhubungan langsung dengan kepentingan anggota DPR. Materi desain penegakan hukum pemilu, sebaliknya, tidak mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pembahasan. Alhasil, sesuai prediksi Veri, substansi UU Pemilu terkait penegakan hukum tidak sesuai harapan. Veri tak menampik selalu ada tantangan dalam penegakan regulasi. “Sebenarnya dengan regulasi yang lebih luas pun tantangannya akan tetap sulit,” tambah Veri.

 

(Baca juga: Penyebaran Hoax Bukan Pelanggaran Pemilu)

 

Selain persoalan penegakan hukum yang menjadi perhatian, perlu dipikirkan upaya lain. Langkah preventif dan kolaborasi antara Bawaslu, peserta pemilu, dan masyarakat perlu didorong. Veri menilai ada ketidakpercayaan diri dari caleg dalam proses pemilihan anggota legislatif. Akibatnya, politik uang digunakan untuk meraup suara. Untuk mencegah, salah satu yang bisa dilakukan adalah memberi ruang kepada caleg-caleg yang sebelumnya pernah terpilih untuk menyosialisasikan cerita keberhasilan mereka ketika terpilih tanpa menggunakan politik uang. “Dengan begitu caleg bisa diajarkan bahwa untuk menang ada jalan lain tanpa harus politik uang,” tambah Veri.

 

Anggota Komisi II DPR, Andi Mariata, mengamini pentingnya mencegah politik uang. Realitas di lapangan memang membuat sejumlah calon mencari cara untuk meraup suara pemilih, dan itulah realitas lapangan. “Situasi sekarang banyak warga negara menggadaikan hak pilihnya karena sejumlah pemberian. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya.

Tags: