Ada Sanksi Pidana Nekat Berkerumunan Menuai Kritik
Berita

Ada Sanksi Pidana Nekat Berkerumunan Menuai Kritik

Pemerintah disarankan untuk menghindari sanksi pidana penjara, cukup denda atau sanksi sosial karena dinilai berlebihan dan over kriminalisasi.

Adi Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Penyebaran coronavirus disease (Covid-19) di Indonesia semakin meluas. Untuk menekan penyebaran Covid-19 ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya, melarang dan membubarkan acara/kegiatan yang menimbulkan kerumunan massa dalam jumlah banyak demi mencegah/meminimalisir penyebaran Covid-19.   

 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengatakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Penanggulangan Covid-19 telah melibatkan TNI dan Polri untuk membubarkan kerumunan orang yang dinilai membahayakan.

 

“Karena ternyata masih banyak pelanggaran, tingkat pemahaman dan penghayatan masyarakat tentang situasi ini tidak sama, maka kemarin rapat Gugus Tugas jam 12 sampai setengah 3, memutuskan agar TNI dan Polri ikut turun tangan secara selektif dibantu oleh Satpol PP di daerah-daerah untuk melakukan pembubaran terhadap kerumunan-kerumunan orang yang membahayakan,” ujar Mahfud MD sebagaimana dikutip laman polkam.go.id, Senin (23/3/2020).

 

Mahfud mengatakan pasti ada pihak yang mengkritik penanganan penyebaran Covid-19. Misalnya, ada yang mengatakan untuk lockdown atau menutup akses keluar masuk. Tapi ketika dicoba untuk lockdown terbatas dalam transportasi ujungnya ribut.

 

“Misalnya perintah mengurangi kerja di kantor, itu banyak juga yang mengeluh, ‘bagaimana pekerja harian seperti kami kalau orang tidak ke kantor kami dapat apa?’ misalnya gojek dan sebagainya. Makanya kita harus bersabar, yang penting kekompakkan antara pemerintah dan rakyat untuk saling menjaga,” kata Mahfud.

 

Menurut Mahfud, istilah lockdown kurang manusiawi karena terbukti tidak efektif di Italia. Karena itu, Indonesia menggunakan istilah social distancing, kemudian berkembang istilahnya menjadi physical distancing, tapi yang lebih dianjurkan yakni istilah jarak fisik.

 

“Itu yang ditempuh oleh pemerintah agar melakukan hubungan-hubungan dengan orang lain itu dihindari kalau tidak sangat penting, kalau sangat penting jaraknya diatur 1 meter dan membersihkan diri, tangan, wajah, baju, dan sebagainya, supaya dilakukan masyarakat atas bimbingan pemerintah, physical distancing,” ujar Ketua MK periode 2008-2013 itu.

 

Mahfud mengusulkan masyarakat mulai dari tingkat RT/RW harus dilibatkan untuk aktif menjaga jarak fisik. Hal ini penting dilakukan mengingat data yang ada menunjukan Covid-19 masih berada di tempat tertentu seperti Jakarta, Surabaya, Jawa Tengah dan lainnya. Sementara di daerah lain ada yang sifatnya masih kecil, sehingga banyak pemerintah daerah yang abai.

 

“Oleh sebab itu, kemarin Pak Mendagri sudah bersepakat dengan kita untuk membuat pemahaman yang sama agar pemerintah daerah tahu bahwa ini satu serangan yang bisa membesar. Meskipun daerahnya sekarang belum terserang secara masif, tapi bisa saja suatu saat akan membesar serangan-serangan ke daerah-daerah itu,” kata Mahfud. Baca Juga: Jerat Pidana bagi Warga ‘Bandel’ yang Nekat Berkerumunan

 

Sebelumnya, Kapolri telah menerbitkan Maklumat bernomor MAK/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Covid-19. Surat tertanggal 19 Maret 2020 antara lain mengimbau untuk tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik di tempat umum atau di lingkungan sendiri.

 

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Mohammad Iqbal mengatakan Polri bersama TNI akan membubarkan masyarakat yang masih tidak mengindahkan imbauan Pemerintah agar bekerja dari rumah dan menjaga jarak demi menekan penularan virus Covid-19. Iqbal menyebut 460 ribu personel Polri dikerahkan terkait hal itu.

 

"Ada 460 ribu personel Polri serentak bergerak atas perintah Kapolri melalui Maklumat Kapolri. Lebih dari 500 polres, 5.000 polsek bergerak untuk melakukan tindakan kemanusiaan, upaya persuasif humanis, untuk menyampaikan imbauan kepada masyarakat yang masih terlihat berkumpul, berkerumun meski cuma ngopi di kafe," kata Irjen Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Senin (23/3) kemarin.

 

"Polri tidak ingin akibat berkerumun apalagi cuma kongkow-kongkow, penyebaran virus bertambah," katanya.

 

Iqbal melanjutkan bila ada masyarakat yang tidak mematuhi petugas Polri akan diproses hukum. "Apabila masih ada masyarakat membandel, tidak mengindahkan perintah personel yang bertugas untuk kepentingan bangsa dan negara, kami akan proses hukum dengan Pasal 212 KUHP dan Pasal 216 dan 218. Jadi intinya bisa dipidana," kata mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu.

 

Cukup denda atau sanksi sosial

Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam melihat dalam sejumlah pemberitaan ada ancaman pidana jika tidak mematuhi maklumat tersebut. Menurutnya, dalam tindakan darurat pengenaan sanksi dapat dimungkinkan. Sanksi ini perlu untuk menjamin tujuan utama mengatasi kedaruratan. “Namun sebaiknya diterapkan juga untuk menggalang solidaritas,” katanya ketika dikonfirmasi, Kamis (26/3/2020).

 

Kendati menyebut pengenaan sanksi dimungkinkan, tapi Anam menegaskan sanksi yang diberikan baiknya bukan pidana, tapi denda atau kerja sosial. Menurut Anam pemerintah bisa menerbitkan kebijakan berbasis situasi darurat. Misalnya, tahanan yang menjalani masa tahanan bisa dialihkan menjadi tahanan rumah. Situasi darurat bisa digunakan sebagai basis untuk menerbitkan kebijakan.

 

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu melihat ancaman yang akan dikenakan kepada masyarakat yang tidak mentaati perintah social distancing antara lain Pasal 212 KUHP. Menurut Erasmus tindakan ini berlebihan dan over kriminalisasi. Menurutnya penanganan Covid-19 harus mengutamakan pencegahan dengan cara memberi informasi yang komprehensif berbasis bukti dan kesehatan publik untuk membangun kesadaran masyarakat.

 

Erasmus menegaskan Pasal 212 KUHP harus dipahami secara utuh dan lengkap. Mengacu R Soesilo, Erasmus menyebut Pasal 212 KUHP pada intinya merupakan ketentuan yang diterapkan ketika seseorang yang hendak ditangkap petugas kemudian melakukan perlawanan dengan cara memukul dan menendang petugas.

 

“Dalam konteks apabila masyarakat tidak mengindahkan himbauan pemerintah untuk melakukan social distancing direspon oleh ancaman penggunaan pidana penjara lewat Pasal 212, maka akan terjadi penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over kriminalisasi,” kata Erasmus.

Tags:

Berita Terkait