Ada Ragam Persoalan, Begini Investor Asing Menilai Regulasi Fintech Indonesia
Utama

Ada Ragam Persoalan, Begini Investor Asing Menilai Regulasi Fintech Indonesia

Mulai dari tingkat suku bunga tinggi hingga penempatan data center di dalam negeri menjadi hambatan bagi investor asing masuk ke Indonesia.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: ojk.go.id
Ilustrasi: ojk.go.id

Pesatnya perkembangan industri jasa keuangan berbasis internet atau financial technology (fintech) nasional turut menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Korea, salah satu negara industri fintech besar global melihat Indonesia memiliki potensi yang menjanjikan bagi fintech untuk menyaingi industri jasa keuangan lainnya.

 

Meski demikian, masih terdapat berbagai permasalahan yang harus dibenahi regulator seperti pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar industri fintech berjalan kondusif. Salah satu ketentuan yang dianggap menghambat investasi yaitu kewajiban penempatan data center di Indonesia.

 

Aturan ini tercantum dalam Pasal 25 Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Fintech Peer to Peer Lending). Aturan ini memuat kewajiban perusahaan fintech P2P harus menempatkan data center harus di dalam negeri.

 

Direktur Korea Internet and Security Agency (KISA) Representative Office in Indonesia, Aaron Wonki Chung, menjelaskan aturan kewajiban penempatan data center tersebut menjadi hambatan bagi investor asing masuk ke Indonesia. Menurutnya, adanya kewajiban tersebut akan semakin memperbesar biaya investasi bagi investor.

 

Padahal, dia menjelaskan beberapa negara lain yang lebih dahulu memulai industri fintech seperti Jepang, Cina dan Korea sudah mengizinkan perusahaan menempatkan data center di luar negeri.

 

(Baca Juga: Untung Rugi Penempatan Data Center di Dalam Negeri)

 

“Kalau di Korea dulu aturannya seperti itu (wajib dalam negeri). Tapi sekarang pemerintah sudah mulai paham dan fleksibel (penempatan data center). Bahkan, Jepang dan Cina juga sudah jauh lebih bebas menempatkan data center-nya,” kata Aaron saat menjawab pertanyaan hukumonline dalam acara Fintech Business Day 2018 di Jakarta, Senin (26/11).

 

Dengan diperbolehkannya penempatan data center di luar negeri, Aaron menilai investasi asing akan semakin mudah masuk karena menciptakan efesiensi biaya. Selain itu, penggunaan teknologi komputasi awan atau cloud juga membantu bagi perusahaan fintech mengkases data nasabahnya sehingga tidak perlu lagi menempatkan data center di Indonesia.

 

POJK 77/2016

Pasal 25:

 

(1) Penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana.

(2) Pusat data dan pusat pemulihan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan di Indonesia.

(3) Penyelenggara wajib memenuhi standar minimum sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi.

 

Selain data center, permalasahan yang juga disoroti yaitu mengenai tingkat suku bunga pinjaman fintech. Saat ini, aturan tingkat suku bunga pinjaman fintech di Indonesia belum ada regulasinya baik dalam POJK dan kode perilaku Asosiasi Fintech Indonesia. Sehingga, setiap perusahaan fintech dapat menentukan sendiri besaran suku bunga pinjaman kepada nasabah.

 

(Baca Juga: Demi Kepastian Berusaha, Pemerintah Akan Atur Klasifikasi Data Elektronik)

 

Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan negara lain seperti Korea yang mengatur secara jelas mengenai tingkat suku bunga pinjaman. Dalam kesempatan yang sama, Convergence Service Support Team Manager KISA, Kim Jin Man menjelaskan Korea telah memiliki aturan dalam penetapan suku bunga. Dia menjelaskan pemerintah Korea mematok bunga pinjaman fintech maksimal 24 persen.

 

Namun, dia menjelaskan perusahaan fintech Korea mayoritas sudah menetapkan suku bunga di bawah acuan pemerintah. “Paling sekitar 10 persen rata-rata bunga pinjamannya atau di antara bank dan shadow banking,” kata Kim.

 

Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang rata-rata tingkat suku bunga pinjaman fintech mencapai sekitar 20 persen. Dengan tingginya tingkat suku buga tersebut, Kim menilai kondisi ini akan berdampak buruk bagi nasabah. Tingginya tingkat suku bunga akan memperbesar risiko gagal bayar pinjaman.

 

Kim juga menjelaskan sebelumnya Korea juga tidak mematok tingkat suku bunga pinjaman fintech. Namun, kondisi tersebut justru meningkatkan terjadinya praktik penagihan intimidatif dan teror perusahaan fintech kepada nasabahnya. Sehingga, Korea mengambil kebijakan untuk menetapkan suku bunga acuan bagi fintech.

 

“Kalau awal-awal memang banyak masalah (penagihan). Tapi, sekarang tidak lagi karena sudah dijaga sama goverment. Selain itu, Korea juga ada aturan batasan pinjaman bagi nasabah sehingga sudah jarang terjadinya pinjaman bermasalah,” jelas Kim.

 

Meski tidak diatur, transparasi tingkat suku bunga harus disampaikan perusahaan fintech kepada nasabahnya. Transaparansi tersebut tercantum dalam syarat minimal bentuk perjanjian para pihak.

 

Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 POJK 77/2016 mengatur bahwa perjanjian pelaksanaan peer to peer lending ini meliputi perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi jaminan dan perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Tingkat suku bunga merupakan salah satu komponen yang harus tercantum dalam perjanjian antara nasabah dengan perusahaan fintech.

 

Tags:

Berita Terkait