Ada Presiden SBY dalam Perkara Labels vs YKCI
Berita

Ada Presiden SBY dalam Perkara Labels vs YKCI

Perusahaan rekaman tak boleh main-main, nama Presiden masuk dalam daftar tunggu anggota KCI.

NNC
Bacaan 2 Menit
Ada Presiden SBY dalam Perkara <i>Labels</i> vs YKCI
Hukumonline

Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilayangkan Pusahaan rekaman (Labels)  terhadap Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI) dan Telkomsel tinggal selangkah lagi. Pekan lalu, para pihak telah menyetor kesimpulan. Dijadwalkan dua minggu mendatang putusan akan diketok Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Sulthoni.

 

Pada kesimpulan itu, KCI masih bertahan membantah klaim hak eksklusif labels seperti didalilkan perusahaan rekaman. Yayasan yang punya gawe memungut royalti dari performing right atas ciptaan musik itu berusaha menyentil majelis hakim. Tertulis dalam kesimpulan, jika majelis sampai mengabulkan permohonan perusahaan labels, NSP (Nada Sambung Pribadi) atau RBT (Ring back tones) yang biasa didengar majelis bakal berubah suara tangis sendu para pencipta lagu meratapi karya cipta.

 

Dengan font  sengaja dicetak tebal, KCI dalam kesimpulan tertulisnya juga mewanti-wanti majelis, andaikata sampai permohonan Labels dikabulkan, maka putusan bakal  turut berakibat pula pada karya cipta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Belakangan ini,  presiden juga turut mencipta lagu. Baik syair dan nada dibikin sendiri oleh Pak Presiden. 

 

Ini bukan gertak sambal YKCI. Saat ini, Presiden SBY malah sudah bergabung menjadi anggota Pencipta dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI). Sebagian besar anggota PAPPRI adalah anggota YKCI, Ketua PAPRI juga salah satu Dewan Pembina YKCI, ujar Guntur Fatahillah dari Kantor Hukum Mahendradatta.

 

Salah satu anggota Tim Kuasa Hukum YKCI itu mengatakan,  saat ini secara otomatis Presiden SBY menjadi anggota KCI dengan menciptakan lagu berjudul Mengarungi Keberkatan Tuhan bersama Ebiet G Ade. Maklum, Ebiet adalah anggota YKCI. Dengan demikian, jika majelis mengabulkan gugatan perusahaan labels, ujar Guntur, Presiden juga pasti akan terkena akibatnya. Hak ekonomi presiden sebagai pencipta lagu untuk mendapat royalti dari kegiatan mengumumkan juga  bakal hilang jika diperdengarkan lewat RBT.

 

Dihubungi terpisah, Sabtu (1/3), Anggota Tim Kuasa Hukum 10 perusahaan labels, Sumedi, dari kantor hukum Otto Hasibuan tidak merasa ciut dengan embel-embel nama presiden. Perusahaan label tetap mengklaim mereka punya hak eksklusif seperti dijamin Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No.19/2002 Tentang Hak Cipta.

 

Sumedi mengatakan, pasal itu sudah cukup menjamin perusahaan label mendulang hak ekonomi dari hasil ciptaan sepanjang sebuah ciptaan telah dipasrahkan dari Pencipta pada perusahaan rekaman. NSP atau RBT, menurut Sumedi merupakan bentuk pemanfaatan hak eksklusif produser rekaman sebagai pemegang hak cipta seperti yang dijamin pada Pasal 1 Ayat 9 UU Hak Cipta.

 

Pada mulanya, perkara ini mencuat pasca ribut soal adanya teknologi RBT. Menurut KCI, RBT merupakan hak ekonomi yang masuk pada ranah hak mengumumkan. Kewenangan untuk menagihnya  tetap melekat pada Pencipta. KCI selaku pemegang kuasa mewakili para pencipta untuk menagih royalti, selama ini bertindak sebagai kolektor dari hak mengumumkan itu. Sedangkan Labels merasa keberatan lantaran ia masih harus berbagi dengan pencipta lagi.

 

Kalau sudah direkam, perusahaan rekaman memiliki hak penuh untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan cara apapun. Mengalih wujud dalam bentuk apapun. Itu hak eksklusif. Jelas-jelas dilindungi oleh UU Hak Cipta, tandas Sumedi. Dalam kesimpulan, perusahaan labels tetap menganggap bahwa hak eksklusif untuk mengumumkan dan memperbanyak otomatis beralih ketika seorang pencipta menyerahkan ciptaan mereka ke perusahaan labels.

 

James Franky Sundah, pencipta lagu yang turut menjadi Tim Perumus Revisi UU HaK Cipta mengatakan, RBT termasuk kategori  kegiatan mengumumkan karena sifatnya seperti radio. Seorang pengguna RBT harus membayar sejumlah uang untuk musik yang diputar oleh operator. Dalam RBT, si pembayar justru tidak mendengarkan sendiri  lagu yang ia bayar namun justru seorang dari seberang telepon yang menikmati. Dengan demikian hak menagih royalti memang masih melekat pada Pencipta.

 

Begitu pula jika RBT dianggap sebuah kegiatan penggandaan lagu yang masuk ranah hak memperbanyak atau menggandakan. Hak menggandakan, ujar James, kalaupun diserahkan secara penuh pada produser rekaman, jenis medium penggandaan haruslah disebutkan secara rigid dalam bentuk apa saja. Kalau RBT tidak termasuk dalam hak memperbanyak, itu harus disebutkan secara rigid dalam perjanjian rekaman, ujar James.

 

Pendapat James ini didasari adanya pengalaman para pencipta lagu yang sering menjual putus hasil ciptaan mereka pada produser rekaman. Setelah karya dijual, pencipta tidak bisa lagi meraup hasil dari ekploitasi karyanya. Padahal, lanjut James, teknologi untuk memperbanyak dan mengumumkan senantiasa berkembang seiring waktu.

 

Dengan demikian, jika pemegang hak meraup keutungan dari sebuah lagu sepenuhnya beralih ke produser rekaman, kreator lagu bakal tetap miskin sementara perusahaan label bisa mengekploitasi habis-habisan sebuah ciptaan.

 

Tags: