Ada Potensi Ketentuan Pers Bakal Dicabut dari RUU Cipta Kerja
Berita

Ada Potensi Ketentuan Pers Bakal Dicabut dari RUU Cipta Kerja

Karena tidak ada relevansinya dengan tujuan pembuatan RUU Cipta Kerja untuk kemudahan usaha dan investasi. Pers dan media cukup diatur dalam UU 40/1999 sebagai lex spesialis.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja terus berlangsung di Badan Legislasi (Baleg). Saat ini pembahasan tentang pengaturan pers dalam RUU Cipta Kerja. Sejak awal, pengaturan pers dalam RUU Cipta Kerja mendapat penolakan dari kalangan organisasi pers lantaran potensi jadi celah pemerintah mengintervensi pers dalam pemberitaan. Karena itu, kalangan pers meminta ketentuan pers dicabut/ditarik dari draf RUU Cipta Kerja.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menegaskan organisasi pers yang dipimpinnya tegas menolak pengaturan pasal pers dalam draf RUU Cipta Kerja. Sebab, pengaturan dan praktik pers sudah lengkap diatur dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena itu, IJTI meminta DPR agar mencabut ketentuan pasal pers tersebut “Poin kami terkait dengan pasal pers agar didrop dari RUU Cipta Kerja,” ujar Yadi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di ruang Baleg DPR, Selasa (9/6/2020) kemarin.

IJTI menyoroti rumusan Pasal 18 UU 40/1999 yang diubah dalam Pasal 18 RUU Cipta Kerja, khususnya perubahan ayat (3) menjadi “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.” Begitu pula tambahan satu ayat menjadi Pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Yadi menilai kedua ayat tersebut berbahaya bagi keberlangsungan dunia pers yang independen dalam pemberitaan karena berpotensi membuka ruang intervensi pemerintah terhadap pers. Bila membandingkan rumusan Pasal 18 ayat (3) UU 40/1999 menyebutkan, “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Sementara dalam ayat (3) Pasal 18 RUU Cipta Kerja hanya dikenakan sanksi administratisi jika melanggar Pasal 9 ayat (2).

“Ayat (4) juga berbahaya karena menjadi pintu masuk campur tangan pemerintah ke dunia pers melalui peraturan pemerintah. Padahal, UU 40/1999 mengamanatkan tidak adanya peraturan turunan dari UU Pers. Peraturan terkait pers dibuat oleh Dewan Pers dengan prinsip self regulatory atau mengatur dirinya sendiri.”

Demikian pula, dalam batang tubuh UU 40/1999 tidak mengamanatkan pembuatan PP sebagai aturan pelaksana. Intinya, UU 40/1999 tidak mengamanatkan pembuatan aturan pelaksana. Atas dasar itu, IJTI menolak ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan (4) dalam draf RUU Cipta Kerja. “Kami meminta untuk ayat (3) dan (4) didrop. Kami sudah ada Dewan Pers sebagai lembaga yang mengatur,” katanya. (Baca Juga: Legislator Ini Usul Ketentuan Pers Dicabut dari RUU Cipta Kerja)

Ketimbang membuat aturan yang bertolak bagi kebebasan pers, Yadi berpendapat lebih penting membuat aturan yang sedang dibutuhkan pers, seperti domestic policy yang dapat melindungi media nasional dari cengkraman ancaman platform asing sebagai bentuk keberpihakan pada media nasional. “Selain menjaga kebebasan pers, perlu regulasi yang memproteksi pers nasional dan membatasi gurita platform asing, karena kita tidak punya UU-nya.”

Anggota Baleg DPR Taufik Basari mengamini pandangan IJTI karena tidak ada relevansinya pers dalam RUU Cipta Kerja. Dia mengaku tak habis pikir dengan pemerintah yang menyusun draf RUU Cipta Kerja yang memasukan UU 40/1999. Karena itu, Tobas, begitu biasa disapa bakal  menanyakan ke pemerintah dalam rapat kerja dengan Baleg mendatang.

Politisi Nasional Demokrat (Nasdem) itu pun mendorong agar pengaturan pers dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja. Dengan begitu, RUU Cipta Kerja hanya berfokus pada pengaturan keemudahan usaha dan perizinan berinvestasi. “Kalau argumentasinya tidak kuat atau tidak signifikan, tidak ada salahnya kita keluarkan saja (pasalnya), supaya kita lebih fokus pembahasannya soal kemudahan berusaha dan perizinan,” kata Tobas yang juga anggota Komisi III itu.

Koleganya di Baleg, Firman Subagyo melanjutkan pasal-pasal yang mengatur pers dan media dalam RUU Cipta Kerja justru bakal menimbulkan multitafsir. Pers, kata Firman, sudah cukup diatur dengan UU 40/1999 yang bersifat lex spesialis bagi media, sehingga tak perlu lagi diatur dalam RUU Cipta Kerja. Itu sebabnya Firman mendorong Baleg harus mencabut pasal-pasal terkait pengaturan pers dalam RUU Cipta Kerja.

“Kami usulkan terkait dengan media dan pers untuk didrop dari RUU Cipta Kerja,” kata politisi Partai Golkar itu.

Seperti diketahui, paragraf 5 Pasal 87 draf RUU Cipta Kerja mengatur revisi Pasal 11 dan 18 UU 40/1999. Sebelumnya, kalangan pekerja media menolak revisi Pasal 11 dan Pasal 18 UU Pers. Namun, pemerintah tetap memasukan UU 40/1999 dalam draf RUU Cipta Kerja hingga penyerahan draf RUU ini ke DPR.

Tags:

Berita Terkait