Ada Peran Advokat dalam Kasus Suap Eks Bos Lippo Group
Berita

Ada Peran Advokat dalam Kasus Suap Eks Bos Lippo Group

Uang dari advokat kepada panitera PN Pusat untuk mendapat putusan kasasi dan surat pencabutan dari kuasa hukum sebelumnya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus suap pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat, Eddy Sindoro menjalani sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/12). Foto: RES
Terdakwa kasus suap pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat, Eddy Sindoro menjalani sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/12). Foto: RES

Eddy Sindoro, mantan Presiden Komisaris Lippo Group didakwa melakukan dua pemberian suap dalam dua perkara perdata kepada Edy Nasution yang ketika itu merupakan panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertama untuk menunda proses pelaksanaan Aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP). Kedua menerima pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang.

 

Dalam perkara yang kedua ternyata ada advokat yang memberi suap kepada Edy Nasution untuk membantu memperlancar proses tersebut. Ceritanya begini, berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.

 

Namun sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud Pasal 295 ayat (2) UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan PK. Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan tanggal 15 Februari 2016 memerintahkan Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk mengupayakan pengajuan PK. Hesti pun menemui Edy Nasution untuk meminta hal tersebut meskipun batas waktu telah lewat dengan menjanjikan imbalan, Edy menyanggupinya dengan meminta imbalan Rp500 juta.

 

Berdasarkan kesepakatan antara Eddy Sindoro dengan Markus Parmadi selaku perwakilan PT AAL. Akhirnya, PT AAL menunjuk pengacara pada Law Firm dengan inisial CCO dengan empat advokat sebagai kuasa hukum yang baru menggantikan Law Firm Marx & Co. Law Firm CCO menurut surat dakwaan merupakan kantor hukum yang telah beberapa kali menangani perkara terkait perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Eddy Sindoro.

 

Dari sinilah peran advokat dari kantor hukum CCO itu terlihat. Dua orang perwakilan advokat dari kantor hukum tersebut menemui Edy Nasution dan menyampaikan akan mengajukan pendaftaran PK dan meminta salinan asli putusan Kasasi perkara kepailitan PT AAL. Dalam pertemuan itu, salah satu advokat juga menyampaikan merekalah kuasa hukum PT AAL yang baru dan belum pernah menerima salinan putusan. Baca Juga: Kolaborasi Lucas dan Sejumlah Pihak dalam Pelarian Eddy Sindoro

 

Pada tanggal 25 Februari 2016, Edy Nasution menyampaikan putusan kasasi kepada kuasa hukum yang baru dan dilampirkan pencabutan kuasa yang lama. Atas hal itu advokat CCO berinisial AGS memberikan uang kepada Edy Nasution sejumlah AS$50 ribu yang dibungkus dalam amplop warna coklat.

 

“Selanjutnya Edy Nasution memerintahkan Sarwo Edy dan Irdiansyah agar jika ada permohonan PK dari PT AAL yang baru agar diproses seperti biasa, dan memberikan uang kepada Sarwo Edy dan Irdiansyah sejumlah Sing$4 ribu,” kata penuntut umum pada KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12/2018).

 

Tidak hanya oknum PN Jakarta Pusat, dalam surat dakwaan penuntut umum juga menyebut nama mantan Sekretaris MA Nurhadi. Setelah PT AAL mendaftarkan permohonan PK di PN Jakarta Pusat pada tanggal 2 Maret 2016 diterima oleh Edy Nasution dan diproses dengan mengirimkan pemberitahuan pendaftaran PK kepada pihak termohon.

 

Kemudian pada 30 Maret 2016 berkas PK perkara niaga PT AAL dikirim ke Mahkamah Agung (MA). “Dimana sebelum berkas perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi selaku Sekretaris Mahkamah Agung yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke Mahkamah Agung,” kata penuntut umum.

 

Setelah melakukan pendaftaran PK, pada tanggal 11 April 2016 Ervan Adi Nugroho bos PT Paramount Enterprise kembali menyiapkan uang sejumlah Rp50 jutaguna diberikan kepada Edy Nasution. Untuk itu, Ervan memerintahkan Hesti, selanjutnya ia memerintahkan Wawan Sulistiawan untuk mengambil uang tersebut. Kemudian diserahkan kepada Doddy Aryanto Supeno yang memang ditugaskan untuk menyerahkan uang tersebut.

 

Tunda Aanmaning

Untuk perkara Eddy Sindoro seperti disebutkan diatas, perkara pertama terkait penundaan Aanmaning. Berdasarkan Putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 01 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar AS$11,1 juta.

 

Atas putusan itu, PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT KYMCO pada tanggal 24 Desember 2013 mendaftarkan Putusan tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia. Atas pendaftaran itu, PN Jakarta Pusat menyatakan Putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

PN Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning kepada PT MTP melalui Pengadilan Negeri Tangerang agar PT MTP hadir di PN Jakarta Pusat pada 1 September 2015. Atas pemanggilan tersebut, PT MTP tidak hadir, sehingga PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada tanggal 22 Desember 2015.

 

Mengetahui adanya panggilan aanmaning tersebut, Eddy Sindoro memerintahkan Hesti mengupayakan penundaan aanmaning. Ia lalu ke Edy Nasution di Kantor PN Jakarta Pusat dan meminta penundaan aanmaning PT MTP. Atas permintaan itu, Edy Nasution menyetujui menunda proses Aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.Setelah mendapatkan persetujuan akhirnya uang diserahkan melalui Doddy.

 

“Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Doddy Aryanto Supeno memberikan uang yang seluruhnya sebesar Rp150 jutadan AS$D50 ribu kepada Edy Nasution, bertentangan dengan kewajiban Edy Nasution selaku Panitera pada PN Jakarta Pusat,” terang penuntut umum.

 

Atas perbuatannya, Eddy Sindoro didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait