Ada Kekeliruan Pemahaman tentang Makar
Utama

Ada Kekeliruan Pemahaman tentang Makar

Makar hanya salah satu unsur dari Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Polisi menyampaikan bukti atas tuduhan makar dan pelanggaran UU ITE. Foto: RES
Polisi menyampaikan bukti atas tuduhan makar dan pelanggaran UU ITE. Foto: RES

Aparat penegak hokum diingatkan untuk berhati-hati menggunakan tuduhan makar karena ada potensi salah memahami hakikat pasal-pasal makar dalam KUHP. Ketiadaan terjemahan resmi KUHP ikut berkontribusi pada kesalahan pemahaman maksud awal pembentuk undang-undang. Dalam diskusi yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kesalahan pemahaman itu diurai.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil mengingatkan bahwa tindakan makar dalam konstruksi sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bukanlah sebagai delik pidana. Makar hanya salah satu unsur dari keseluruhan pasal yang mengatur delik tindak pidana. “Makar itu bukan tindak pidana,” ujarnya kepada hukumonline usai diskusi.

Kesalahan memaknai konsep makar mungkin terjadi karena kesalahan memaknai kata aanslag sebagai makar. Lema ‘makar’ merupakan kosakata serapan dari bahasa Arab yang bermakna ‘tipu daya’. Apakah maksud pembentuk undang-undang dalam pasal-pasal anslag adalah tipu daya?

KUHP yang saat ini digunakan adalah peninggalan kolonial yang aslinya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI). KUHP ini pertama kali diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 tertanggal 15 Oktober 1915. Pasca kemerdekaan, untuk mengisi kekosongan hukum pidana, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvS-NI tetap diberlakukan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia.

(Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Makar’ Alias Aanslag dalam Pasal 104 KUHP).

Cuma, WVS-NI berbahasa Belanda, yang diberlakukan dan kemudian dikenal sebagai KUHP itu, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia, sehingga terjemahan yang ada adalah terjemahan tidak resmi dari para pakar hukum. Karena itu penerapan hukum pidana harus tetap mengacu pada maksud dari bahasa aslinya yaitu bahasa Belanda. Menurut Arsil, ada persoalan penerjemahan lema ‘aanslag.menjadi ‘makar’ dalam pengertian bahasa Indonesia.

Mengutip pandangan doktrin, Djoko Prakoso dan Wirjono Prodjodikoro, lema ‘makar’ merupakan terjemahan dari aanslag yang memiliki arti serangan. Menurut PAF Lamintang, aanslag hanya tepat diartikan sebagai aanval (serangan) atau sebagai misadadige aanranding (penyerangan dengan maksud tidak baik). Untuk itu, menerjemahkan kata aanslag dengan menjadi makar yang berarti tipu daya, telah mengaburkan makna mendasar dari aanslag yang berarti serangan.

Bahasa Belanda merupakan bahasa asli dari Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a dan Pasal 139b  dan Pasal 140 KUHP. Aanslag dalam bahasa Belanda lebih bermakna sebagai penyerangan, maka makar yang dimaksudkan dalam KUHP Indonesia mengharuskan adanya unsur penyerangan. “Jika orang itu baru berniat dan belum melakukan serangan, pasal makar tidak bisa dijatuhkan kepadanya,” ujar Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizky Akbar.

(Baca juga: Dapatkah Dipidana Jika Menghasut Orang untuk Makar?)

Jika melihat kembali rumusan Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP, Rizky mengatakan,  anslaag adalah perbuatan dengan beragam tujuan seperti membunuh Presiden, menggulingkan pemerintahan, melepaskan sebagian wilayah, dan membuat presiden/wakil presiden tak dapat menjalankan tugas. Kategori inilah yang lebih tepat disebut sebagai delik tindak pidana aanslag daripada istilah makar sebagai delik. Kesalahan itu telah menimbulkan kerancuan. “Inilah yang menyebabkan sekarang penegakan hukum ini serampangan," ujarnya.

Rizky berpendapat kesalahan yang sering terjadi adalah ketika aparat penegak hukum mengartikan makar sebagai tindak pidana pada umumnya. Rizky mengingatkan bahwa makar adalah hanya salah satu unsur dari Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 a, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP. Untuk itu makar harus dimaknai sejajar dengan unsur lannya dalam konstruksi pasal-pasal tersebut. Misalnya Pasal 104 KUHP, perbuatan seseorang dikategorikan makar jika ada perbuatan ‘menyerang’ dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden untuk memerintah. Demikian pula Pasal 106 KUHP, harus ada serangan, dalam arti tindakan agar seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain," terang Rizky.

Ketua Badan  Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Asfinawati menilai psikologi penegak hukum dalam menerapkan sejumlah pasal aanslag saat ini belum berubah. Masih sama seperti ketika UU Subversi diberlakukan. Meskipun UU tersebut telah lama dicabut, semangatnya masih dipergunakan untuk membungkam pihak yang berseberangan dengan pemerintah. “Ini sesuai dengan pengkategorian kenapa orang itu dikatakan makar, imajinasi-imajinasi tentang ancaman kepada sebuah negara atau pemimpin atau kepada pemerintah itu sudah dicabut pada 1999,” ujar Asfinawati.

Tags:

Berita Terkait