Ada Dugaan Pelanggaran Prinsip Bisnis dan HAM dalam Kasus Gagal Ginjal Anak
Terbaru

Ada Dugaan Pelanggaran Prinsip Bisnis dan HAM dalam Kasus Gagal Ginjal Anak

Dugaan kesengajaan industri farmasi mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai label dan peruntukannya, menyebabkan keracunan disertai kematian terhadap ratusan anak merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah. Foto: Istimewa
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah. Foto: Istimewa

Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) atau dikenal juga dengan Gagal Ginjal Akut yang dialami 326 anak di 27 provinsi di Indonesia terus bergulir. Aparat kepolisian telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka termasuk perusahaan. Komnas HAM juga melakukan pemantauan dan penyelidikan.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah, mengatakan setidaknya terdapat 6 analisis fakta hasil kajian pihaknya. Pertama, korban mengalami keracunan toksin etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG) setelah mengkonsumsi obat sirop.  Kedua, terdapat unsur adanya niat dan kesengajaan oleh industri untuk bahan baku dengan mengganti bahan baku tambahan Propylane Glikol (PG) menjadi EG dan DEG untuk kepentingan bisnis (keuntungan lebih) karena stok senyawa PG di pasar global menipis. K

Ketiga, fakta menunjukkan ada konstruksi kejahatan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan keselamatan masyarakat hanya untuk keuntungan bisnis. Keempat, ada indikasi pengabaian terhadap kewajiban melakukan pengujian terhadap bahan baku tambahan pada produk obat sirop oleh industri farmasi sebelum digunakan sebagai campuran dalam produksi obat.

Kelima, dari kondsisi tersebut Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hukum dalam proses mata rantai industri farmasi yang mengabaikan perlindungan terhadap masyarakata sebagai konsumen dari produk obat dimaksud terutama terhadap konsumen anak. Keenam, ada pelanggaran HAM karena praktik bisnis yang dijalankan industri farmasi tidak memenuhi prinsip-prinsip Bisnis dan HAM sebagaimana pedoman yang diterbitkan PBB. Karenanya Anis menyimpulkan pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam penanganan kasus tersebut.

“Terutama dalam memberikan informasi yang tepat dan cepat kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan dan meminimalisir bertambahnya korban,” kata Anis dalam konferensi pers, Sabtu (11/03/2023) pekan kemarin.

Baca juga:

Kebijakan dan tindakan surveilans kesehatan (penyelidikan epideiologis) yang dilakukan pemerintah dinilai tidak efektif dalam menemukan faktor penyebab kasus GGAPA sehingga tidak dapat mencegah meningkatnya kasus dan korban. Menurut Anis, kebijakan dan tindakan pengawasan pemerintah dalam sistem kefarmasian (produksi dan peredaran obat, red) tidak dilakukan secara efektif. Akibatnya, menyebabkan keracunan disertai kematian dan dampak lanjutan terhadap ratusan anak.

Tindakan dalam penanganan dan pemulihan terhadap korban/keluarga korban tidak dilakukan secara cepat dan komprehsif sehingga mereka mengalami dampak lanjutan yang memprihatinkan. Anis melanjutkan, tata kelola kelembagaan dan koordinasi antar instansi pemerintah yang memiliki otoritas dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dalam menangani kasus ini tidak efektif serta tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Dugaan kesengajaan industri farmasi mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai label dan peruntukannya sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian terhadap ratusan anak merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Anis menilai unsur pengabaian terhadap kewajiban industri dalam menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Bisnis dan HAM.

Pasalnya itu tadi,  telah mencabut hak hidup orang dan mengakibatkan penderitaan panjang bagi korban dan keluarganya. Penanganan kasus GGAPA dengan tindakan yang tidak efektif, menurut Anis merupakan bentuk pembiaran (by omission) pemerintah terhadap pelanggaran HAM.  “Terjadi pelanggaran HAM karena negara mengabaikan kewajibannya untuk bertindak secara aktif dan efektif untuk melindungi dan/atau memenuhi HAM,” ujarnya.

Mantan Direktur Migrant Care itu menyebut, ada 9 pelanggaran HAM dalam kasus ini meliputi pelanggaran hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak anak, hak memperoleh keadilan. Selanjutnya, hak atas kesejahteraan yaitu hak atas pekerjaan dan jaminan sosial, hak atas informasi, hak konsumen, dan pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan HAM.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM lainnya Putu Elvina, memaparkan selain korban meninggal, ada juga yang masih dirawat dengan kondisi yang berbeda-beda untuk setiap anak. Salah satu rekomendasi Komnas HAM adalah menekankan penjaminan terhadap korban yang masih membutuhkan perawatan misalnya untuk obat dan peralatan medis penunjang yang dibutuhkan.

“Pemerintah harus berkomitmen serius memberikan layanan kesehatan secara gratis kepada semua korban baik yang dirawat di RS dan rawat jalan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait