Ada Celah Suap Dikenakan Uang Ganti Rugi
Berita

Ada Celah Suap Dikenakan Uang Ganti Rugi

Terutama untuk perkara korupsi terkait sumber daya alam.

INU
Bacaan 2 Menit
Diskusi kerugian negara dari korupsi sektor sumber daya alam. Foto : SGP.
Diskusi kerugian negara dari korupsi sektor sumber daya alam. Foto : SGP.

Tindak pidana lain selain diatur dan diancam dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dapat dikenakan uang pengganti. Celah untuk itu ada namun selama ini tak digunakan.

Celah ini dapat digunakan untuk perkara korupsi di sektor sumber daya alam. Jika diterapkan, maka tanggung jawab korporasi yang dikejar untuk memaksimalkan uang pengganti.

Demikian pendapat mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2011, Chandra M Hamzah dalam workshop nasional yang diselenggarakan MaPPI FH UI di Jakarta, Selasa (3/9). “Ini satu cara untuk mengejar uang pengganti terutama dari korporasi,” paparnya.

Menurut dia, Pasal 2 dan Pasal 3 adalah pengaturan bersifat umum. Sedangkan pasal-pasal lain bersifat khusus. Inti dari Pasal 2 adalah perbuatan melawan hukum. Dan menyalahgunakan wewenang pada Pasal 3.

“Tapi dari sisi ancaman hukuman jelas terlihat anomali,” paparnya. Karena ancaman hukuman pasal khusus, lebih ringan ketimbang yang tertulis pada pasal umum. Ditambah lagi, lazimnya, apabila dakwaan menggunakan ketentuan pasal umum selalu ditambah dengan keharusan membayar uang pengganti seperti diatur Pasal 18 UU Tipikor.

Menurut dia, seharusnya ketentuan dalam pasal khusus, maka ancaman hukumannya lebih besar. Dan terasa tak adil bagi korupsi di sektor sumber daya alam serta lingkungan hidup. Karena nyata ada kerugian negara yang muncul dari perbuatan si pelaku.

Dia mencontohkan dua kasus yang pernah ditangani KPK, yaitu suap terkait persetujuan DPR untuk rencana pelepasan kawasan hutan lindung di Sumatera Selatan dengan terdakwa Al Amin Nur Nasution dengan pemberian IUPHHK-HT/IPK oleh Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jafar.

Azmun pada tingkat kasasi dihukum dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor sehingga mendekam di penjara selama 12 tahun. Ditambah denda Rp500 juta  subsider kurungan enam bulan dan keharusan membayar uang pengganti Rp19,83 miliar subsider empat tahun penjara.

Sedangkan Al Amin yang menerima suap Rp2,3 miliar untuk dibadi-bagi anggota DPR lain, oleh majelis kasasi hanya dihukum penjara delapan tahun, dengan Pasal 12 huruf a. Ditambah membayar denda Rp250 juta subsider enam bulan penjara.

Menurut Chandra, seharusnya Al Amin dihukum berat karena didakwa dengan pasal khusus. Karena dia menerima suap terkait kewenangannya selaku anggota DPR yang dapat memberikan persetujuan rencana pelepasan kawasan hutan lindung.

Dengan kewenangan itu, ada dampak lain dengan perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi pelabuhan. Yaitu dampak kerusakan lingkungan karena perubahan fungsi ekologi kawasan hutan lindung. Bukan tak mungkin anggaran negara bakal keluar untuk mengatasi dampak dari kerusakan lingkungan.

Sehingga, lanjut Chandra dakwaan Al Amin seharusnya menggunakan Pasal 3 subsidair Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Lalu juncto Pasal 18 huruf a UU Tipikor yang menyasar tanggung jawab korporasi guna membayar ganti rugi akibat kerusakan lingkungan yang timbul.

Saat vonis, untuk menarik uang pengganti pada korporasi, dapat diterapkan Pasal 39 KUHP. Yaitu perampasan barang hasil kejahatan atau yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Sehingga semua aset korporasi yang digunakan untuk kejahatan, menurutnya dapat dirampas guna memaksimalkan ganti rugi. “Sayangnya, alternatif ini belum pernah dicoba. Pun sewaktu saya masih aktif, baru saya disadari setelah tidak menjabat,” paparnya.

Cara lain, lanjut Chandra, jika terdakwa didakwa menggunakan pasal khusus, maka untuk menarik ganti rugi adalah melakukan penggabungan tuntutan pidana dengan gugatan ganti rugi. Hal itu, lanjutnya dimungkinkan karena diatur dalam Pasal 98 KUHAP.

Mantan Kepala PPATK Yunus Husein di tempat sama menyatakan untuk kasus-kasus lingkungan hidup memang perlu dikejar tanggung jawab korporasi. Penanganan perkara pun perlu dilakukan secara multi door.

Dia memaparkan sejumlah undang-undang di sektor sumber daya alam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Namun demikian, pengaturan yang beragam itu menunjukkan politik hukum yang tidak jelas terhadap pemidanaan korporasi. “Di beberapa undang-undang sektor sumber daya alam ada pengaturan tanggung jawab korporasi kecuali pada UU Perkebunan,” paparnya.

Pakar kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo menyatakan kerugian negara pada kasus lingkungan hidup adalah dengan mencari kerugian ekologis. Terdiri dari sejumlah komponen biaya. Lalu ditambah kerugian negara.

“Asalkan ada data, penghitungan secara sederhana tapi dapat dipertanggungjawabkan secara akademis butuh waktu sekira sebulan,” paparnya pada kesempatan sama.

Ditambahkan Chandra, penghitungan kerugian negara tak perlu rumit dan birokratis. Karena belum ada standar baku untuk itu. “Selama ada ahli yang kompeten, dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tak masalah hasil penghitungan itu dibawa ke pengadilan,” paparnya.

Tags: