Ada Calon Tak Paham Ius Curia Novit
Seleksi CHA:

Ada Calon Tak Paham Ius Curia Novit

Ada beberapa pertanyaan panelis tak bisa dijawab calon hakim agung.

ASh
Bacaan 2 Menit
Suasana usai seleksi wawancara calon hakim agung 2012 di gedung KY. Foto: Sgp
Suasana usai seleksi wawancara calon hakim agung 2012 di gedung KY. Foto: Sgp

Dalam seleksi wawancara calon hakim agung, Senin (30/4), Hakim Tinggi pada PT Yogyakarta Hamdi mengatakan bahwa sistem peradilan Indonesia terdiri dari dua tingkat yakni putusan judex factie dan judex jurist. Judex factie ini adalah putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. Sedangkan judex jurist adalah putusan tingkat kasasi yang hanya memeriksa penerapan hukumnya. “Makanya peradilan kita disebut dua tingkat, bukan tiga tingkatan,” kata Hamdi saat ditanya, salah satu panelis, Eman Suparman.

Namun, saat ditanya asas ius curia novit, si calon tak bisa menjawab. “Kalau bahasa asing saya tidak paham Pak,” kata Hamdi. “Asas ius curia novit itu, artinya hakim harus dianggap tahu hukum-hukumnya,” Eman menjelaskan.

Kolega Hamdi di PT Yogyakarta, Hardjono C juga tak memahami istilah restorative justice (pemulihan keadilan) saat pertanyaan ini diajukan oleh KH Sholahuddin Wahid. “Apa yang Anda ketahui tentang restorative justice dan penerapannya di Indonesia?”

Merespon pertanyaan ini Hardjono sempat terdiam dan baru menjawab, “Untuk restorative justice saya belum mendalami,” kata Hardjono. Demikian pula saat Hardjono mendapat pertanyaan tiga jenis putusan dalam perkara perdata.

Mendapati pertanyaan ini Hardjono juga tidak bisa menjawab, Eman menyebutkan sendiri, yaitu putusan deklaratoir, putusan konstitutif, dan putusan kondemnatoir.

Peserta seleksi lain, Nurlela Katun, juga tak mampu menjawab pertanyaan esensi hakim perlu diawasi baik oleh Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY). “Pertanyaan saya sederhana saja, agak filosofis, kenapa hakim itu perlu diawasi,“ tanya salah satu panelis, Komisioner KY Ibrahim. Mendapati pertanyaan itu, Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bengkulu ini menjawab agar tidak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para hakim.

Mendengar jawaban itu, Ibrahim meluruskan bahwa esensi hakim diawasi lantaran hakim menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. “Singkatnya, karena hakim melaksanakan fungsi kekuasaan (kehakiman, red), inilah pemikiran filosofis. Sebab, kalau hakim tidak diawasi, kecenderungan kekuasaan itu akan disalahgunakan,” ujar Ibrahim.

Terkait soal ini, Ibrahim kembali bertanya apakah masyarakat/publik berhak mengawasi fungsi kekuasaan kehakiman. “Atas dasar pemikiran apa publik berhak atau boleh mengawasi pelaksanaan proses peradilan?” Lantas Nurlela terdiam sejenak, “Itu terkait putusan, itu ditentukan dalam peraturan,” jawab Nurlela. “Itu menjadi catatan Saudara saja,” kata Ibrahim.

Ditanya upaya yang dilakukan untuk mengatasi penumpukan perkara di MA, Nurlela mengatakan hal itu sudah dilakukan lewat penerapan sistem kamar, penyelesaian jenis kasus berdasarkan keahlian masing-masing hakim agung. “Selain itu, bisa saja perkara-perkara yang nilai kerugian/dendanya kecil tidak perlu diajukan kasasi atau PK yang diatur dengan Peraturan MA,” katanya.

“Apa Saudara tidak berpikir apa seharusnya pembatasan perkara ini diatur dengan undang-undang karena menyangkut hak orang untuk mengajukan upaya hukum, saya kira untuk kriteria perkara-perkara tertentu dari sisi nilai kerugian, berat-ringan bobot kasus perlu harus diatur dengan undang-undang. Sebab, penumpukan perkara akan berpengaruh terhadap kualitas putusan,” kata Ibrahim menjelaskan.

Di hari keenam ini, selain Nurlela, Hamdi, Hardjono, Tim Panelis yang terdiri tujuh Komisioner KY bersama Johanes Djohansjah (mantan hakim agung) dan KH Sholahudin Wahid juga mewawancarai Binsar Gultom (Hakim PN Bengkulu) dan Maria Anna Samiyati (Hakim Tinggi PT Yogyakarta).

Tags: