Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah?
Fokus

Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah?

Tengoklah fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Coba periksa bagian penyelesaian sengketa dalam praktik ekonomi syariah. Seluruh fatwa itu menyebutkan, hanya Badan Arbitrase Syariah Nasional alias Basyarnas yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang ekonomi syariah.

CRH
Bacaan 2 Menit

 

Pihak bank ini memilih menyelesaikannya melalui pengadilan umum karena bisa mendapatkan untung sekitar Rp 250 juta. Klien kami menjadi korbannya, ujar Agustiono. Dosen pasca sarjana UI ini lalu melaporkan kasus ini ke Bank Indonesia, Bank Syariah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), namun hasilnya tetap nihil.

 

Perlu Ketegasan

Kalau mau jujur, pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 bukan tanpa masalah. Jelas terbaca, kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan persoalan ekonomi syariah dibatasi hanya untuk orang-orang tertentu (Islam). Menjadi pertanyaan: bisakah pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum? Kalau bisa, mungkinkah Bank Syariah, misalnya, disejajarkan dengan orang Islam?

 

Tentu hal ini menjadi problematik. Tak hanya di wilayah akademis, tapi juga di ranah bisnis. Padahal, kepastian hukum sangat diperlukan. Karena itulah, MA yang kini mulai menggodok Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sudah sepatutnya memperhatikan persoalan ini dengan serius.

 

MA melalui KHES nantinya harus benar-benar menegaskan bagaimana idealnya penyelesaian sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah. Sudah tentu, MA tidak boleh memandang sebelah mata fatwa-fatwa yang dihasilkan DSN. Pun, MA tak patut mengabaikan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006.

 

Mengacu pada ketentuan perundangan yang sudah ada, MA harus menegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah mesti diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam akadnya suatu klausul mengenai dilibatkannnya Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa.

 

Tetapi penegasan ini tidak cukup. Berdasarkan pada ‘pengalaman' penyelesaian sengketa dalam hukum perikatan umum, lembaga arbitrase sebagai jalur penyelesaian non-litigasi ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal eksekusi misalnya. Lembaga arbitrase jelas-jelas tidak bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas dan wewenang pengadilan agama pun nanti kurang-lebih sama dengan pengadilan umum dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini.

 

Tags: