Ada 2 Salah Paham tentang Penelitian dengan Teori Feminis Hukum
Utama

Ada 2 Salah Paham tentang Penelitian dengan Teori Feminis Hukum

Penelitian sosio legal di awal tetap menganalisis doktrin dan kerangka normatif hukum yang diteliti. Teori feminis hukum dipilih karena relevan dengan topik perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus Baiq Nuril.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Dosen Kajian Gender dan Hukum FHUI Lidwina Inge Nurtjahyo dan alumnus STHI Jentera Mentari Anjhanie Ramadhianty (bawah) dalam sesi Instagram Live Hukumonline, Kamis (22/9/2022). Foto: NEE
Dosen Kajian Gender dan Hukum FHUI Lidwina Inge Nurtjahyo dan alumnus STHI Jentera Mentari Anjhanie Ramadhianty (bawah) dalam sesi Instagram Live Hukumonline, Kamis (22/9/2022). Foto: NEE

Lidwina Inge Nurtjahyo, Dosen Kajian Gender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), menjelaskan dua salah paham pada teori feminis hukum. Penjelasan ini disampaikannya dalam sesi Instagram Live Hukumonline, Kamis (22/9/2022) kemarin. Bincang santai ini juga menghadirkan Mentari Anjhanie Ramadhianty, penulis skripsi terbaik wisuda STHI Jentera 2022 dengan teori feminis hukum.

“Penting untuk tidak melihat hukum sebatas pada produk hukum tertulis, tetapi juga bagaimana hukum itu diterapkan di masyarakat,” kata Inge. Ia mengingatkan disiplin hukum mengakui adanya ilmu hukum sebagai ilmu normatif dan ilmu tentang hukum dalam kenyataan.

Menurut Inge, ada sudut pandang dalam hukum yang mencoba melihat secara kritis bahwa hukum yang diciptakan otoritas ternyata belum tentu memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum. “Para ahli hukum mengembangkan aliran itu dengan nama critical legal studies, salah satu cabangnya feminist legal studies yang isinya adalah teori-teori feminis hukum,” kata Inge menerangkan.  

Baca Juga:

Perlu dicatat bahwa critical legal studies adalah bagian dari kajian filsafat hukum. Perkembangan terkini memasukkan semua kajian hukum yang interdisipliner (dihubungkan cabang ilmu lain) termasuk dengan pendekatan filsafat dalam payung besar sebagai studi sosio legal.

Setidaknya ada dua salah paham pada feminist legal theory atau teori feminis hukum sebagai studi sosio legal berdasarkan uraian Inge.

1. Disamakan dengan Feminisme Liberal

“Perempuan yang mana dulu? Ini cara melihat hukum untuk mengakomodasi pengalaman perempuan yang mengalami masalah akses ekonomi dan hukum. Bukan perempuan level tinggi yang tidak alami kesulitan,” kata Inge.

Teori feminis hukum adalah cara pandang kritis pada produk hukum (tertulis) untuk melihat apakah pengalaman perempuan sebagai kelompok rentan diskriminasi diakomodasi. “Mengapa perempuan dibedakan? Apakah tidak adil? Hal itu karena masih ada pengalaman berbeda para perempuan sampai saat ini,” kata Inge.  

Perspektif teori feminis hukum dikembangkan untuk mengupayakan tatanan dan penerapan hukum yang adil terhadap perempuan sebagai kelompok rentan. Inge menegaskan keberpihakan pada perempuan sebagai kelompok rentan tidak berarti kelompok rentan yang lain tidak penting.

“Misalnya, ada kalangan disabilitas yang mendapat perhatian juga sebagai kelompok rentan lainnya,” kata Inge. Ia menyebut bahwa ada banyak cabang critical legal studies.

Mentari berbagi alasannya menggunakan teori feminis hukum karena objek riset skripsi yang diambil adalah putusan kasus Baiq Nuril. “Saya melihat pengalaman Ibu Baiq Nuril sebagai perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak diakomodasi dalam proses hukum dan putusannya,” kata dia.

Mentari menyebut Baiq Nuril adalah Ibu pekerja dengan tiga orang anak yang terdesak oleh relasi dominan pelaku kekerasan seksual terhadapnya. “Pengalamannya sampai terpaksa menyimpan bukti rekaman percakapan yang dipermasalahkan tidak dipertimbangkan. Bahkan menjelang persidangan belum ada bantuan hukum yang diberikan untuk Ibu Baiq Nuril,” kata Mentari.

“Saya kira banyak yang alergi dengan istilah feminis karena menghubungkan dengan feminisme liberal. Padahal ada banyak cabang feminisme termasuk yang sasarannya spesifik meningkatkan kesejahteraan perempuan sebagai kelompok rentan,” kata Inge menyimpulkan.

Inge mengakui ada pemahaman kalangan masyarakat yang mendikotomikan feminisme dengan spiritualitas atau keyakinan agama. “Feminis hukum ini justru menguatkan keberpihakan pada perempuan sebagai kelompok yang diperlakukan tidak adil. Jangan ragukan keagamisannya,” kata Inge.

2. Meninggalkan Doktrin dan Kerangka Normatif

“Penelitian sosio legal tetap menjadikan hukum dalam kerangka normatif dan doktrin sebagai ‘primadonanya’. Hanya saja dibantu ilmu-ilmu dari disiplin lain yang relevan untuk menganalisis konteks (peristiwa) hukum,” kata Inge. Sebagai yuris, Inge memastikan penelitian sosio legal tidak mungkin meninggalkan doktrin dan kerangka normatif hukum.

“Kami selalu mulai dari analisis doktrin dan kerangka normatif hukum yang diteliti, dilanjutkan analisis dengan ilmu disiplin lain yang diperlukan. Hasilnya adalah rekomendasi yang utuh untuk perbaikan hukum berdasarkan kenyataan hukum di lapangan,” kata Inge. Ia menyadari ada sejumlah kebingungan seolah yuris harus menguasai segala ilmu dari disiplin lain jika ingin melakukan penelitian sosio legal.

“Yuris tentu saja bisa bekerja sama dengan ahli-ahli disiplin ilmu lain saat melakukan penelitian sosio legal. Paling tidak yuris membuka diri atas isu terkait di masyarakat,” kata Inge menjelaskan.

Mentari berbagi pengalamannya hingga akhirnya memilih teori feminis hukum untuk penelitian skripsinya dalam kerangka sosio legal. “Saya mulai dari minat dan keresahan pada isu perempuan berhadapan dengan hukum. Lalu, saya pilih studi putusan Ibu Baiq Nuril dan melihat teori feminis hukum paling tepat,” kata Mentari. Analisis normatif dan doktrin hukum tetap dilakukan olehnya karena penelitian itu sebenarnya menjadikan putusan pengadilan sebagai objek riset dengan ditambahkan analisis teori feminis hukum tersebut.

Tags:

Berita Terkait