9 Imbauan Komnas HAM Untuk Pemungutan Suara Pemilu 2024
Terbaru

9 Imbauan Komnas HAM Untuk Pemungutan Suara Pemilu 2024

Seperti meminta masyarakat aktif mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024 agar berjalan sesuai aturan, kode etik dan nilai-nilai demokrasi, hingga menolak politik uang.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro. Foto: ADY
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro. Foto: ADY

Seluruh wilayah di Indonesia melaksanakan tahap pemungutan suara Pemilu 2024 secara serentak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemilu 2024 merupakan momen demokrasi yang penting untuk menentukan kualitas pemenuhan dan perlindungan atas hak sipil dan politik (Sipol) warga negara.

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan lembaga yang dipimpinnya menerbitkan 9 pandangan atau imbauan untuk hari pemungutan suara pemilu 2024. Pertama, Komnas HAM berharap setiap warga negara menggunakan hak pilih secara kritis dan rasional untuk memilih pemimpin dan para wakil rakyat terbaik yang bakal menduduki lembaga eksekutif dan legislatif.

“Publik diharapkan tidak hanya mempelajari visi, misi dan program kerja para kandidat, tetapi juga rekam jejak, pengalaman para kandidat, sebagai pertimbangan dalam memilih,” kata Atnike dikonfirmasi, Rabu (14/2/2024).

Kedua, masyarakat perlu bijaksana menanggapi berbagai isu yang berkembang dalam momen Pemilu, dan menahan diri terhadap berbagai informasi yang manipulatif dan provokatif yang dapat memicu konflik. Ketiga, menghimbau masyarakat aktif mengawasi pelaksanaan Pemilu 2024 agar berjalan sesuai aturan, kode etik dan nilai-nilai demokrasi, termasuk di antaranya menolak politik uang.

Baca juga:

Keempat, Komnas HAM meminta kepada seluruh jajaran penyelenggara Pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengedepankan profesionalitas dan integritas dalam menjamin terpenuhinya hak pilih seluruh warga negara. Termasuk hak pilih kelompok marginal-rentan.

Seperti pekerja rumah tangga; orang lanjut usia, penyandang disabilitas; orang-orang di dalam tahanan atau yang dibatasi ruang geraknya – seperti di rutan, panti sosial, dan lainnya; pengungsi internal (baik akibat bencana alam maupun konflik); masyarakat di daerah perbatasan, dan lainnya.

“Penyelenggara Pemilu perlu memberikan perhatian akan kondisi dan kebutuhan khusus yang dapat menghambat terpenuhi hak pilih dari kelompok marginal-rentan,” ujar Atnike.

Kelima, mengimbau seluruh penyelenggara pemilu, dari tingkat pusat sampai TPS, untuk bekerja dengan penuh integritas, imparsial, dan transparan dalam menjamin kemurnian hasil Pemilu, baik sejak penghitungan suara di TPS hingga rekapitulasi nasional. Komnas HAM menekankan manipulasi suara adalah bentuk pelanggaran terhadap hak sipil dan politik warga negara.

Keenam, penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu di tingkat pusat sampai daerah untuk menindak tegas pelanggaran terhadap UU No.17 Tahun 2017 tentang Pemilu dan aturan terkait lainnya. Penegakan hukum itu penting guna menjamin integritas dan kualitas penyelenggaran Pemilu 2024.

Ketujuh, seluruh pejabat negara, penyelenggara negara dan aparatur negara, termasuk aparatur sipil, kepolisian, militer, maupun intelijen, untuk melaksanakan tanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya secara profesional. Sekaligus secara bersama-sama memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung secara Luber, Jurdil dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

“Komnas HAM menekankan bahwa berbagai tindakan penyalahgunaan kewenangan, seperti keberpihakan, mobilisasi atau intimidasi, untuk pemenangan salah satu peserta Pemilu bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan,” urai Atnike.

Kedelapan, Komnas HAM meminta penyelenggara dan aparatur negara untuk menjamin hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi yang beradab. Kesembilan, penyelenggara negara harus memastikan bahwa Pemilu 2024 bekerja secara netral untuk menjamin pemenuhan HAM dalam pelaksanaan partisipasi publik.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at berpandangan penyalahgunaan kekuasaan berjalan secara bertahap dan sistematis. Berbagai kebijakan yang diterbitkan saling berkaitan. Misalnya revisi UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pintu masuk untuk mengganti salah satu hakim konstitusi yang dilakukan dengan melanggar aturan.

Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang kemudian menjadi dasar bagi salah satu bakal calon Presiden untuk mendaftar. Kemudian Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 melanggar etik, sehingga 9 hakim konstitusi dijatuhi sanksi etik dan mencopot Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

Ditambah lagi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan sanksi keras kepada 6 komisioner KPU lainnya terkait proses pendaftaran Capres-Cawapres setelah terbit putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Aturan kampanye yang dilanggar pejabat publik, dan penyalahgunaan bantuan sosial (Bansos) sebagai alat kampanye.

“Berbagai hal itu menunjukkan kekuasaan disalahgunakan secara kasat mata dan tidak ada dari unsur politik yang berani melawan dengan tegas,” paparnya.

Prof Ali menyoroti laporan ke polisi yang dilakukan pihak tertentu terhadap aktor film Dirty Vote. Model pelaporan seperti itu akan berpeluang terjadi menimpa kalangan masyarakat sipil yang berupaya keras menjaga pemilu yang jujur dan adil. Apalagi dalam pemilu putarran kedua yang berpotensi terhadi ke depan.

“Maka yang perlu dilakukan adalah menghentikan kekuasaan yang menggunakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya,” imbuhnya.

Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia  (PBHI), Julius Ibrani mengatakan isi dari film Dirty Vote merupakan kritik yang selalu disuarakan kalangan masyarakat sipil. Aktor film Dirty Vote yang notabene kalangan akademisi itu menyampaikan kritik yang disuarakan masyarakat sipil secara terstruktur. Menunjukkan ada kecurangan dalam pemilu 2024 yang terjadi secara struktural, sistematis, dan masif.

“Untuk menghentikan kecurangan itu jangan memilih (peserta pemilu,-red) yang menjadi bagian dari kecurangan itu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait