9 Hal yang Akan Diatur dalam Permendag E-Commerce
Berita

9 Hal yang Akan Diatur dalam Permendag E-Commerce

PP E-commerce lahir untuk memberikan kepastian hukum dan menciptakan terselenggaranya sistem perdagangan elektronik yang adil dan transparan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara di diskusi hukumonline dengan tema Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce berdasarkan PP 80 Tahun 2019 (PMSE). Foto: RES
Para pembicara di diskusi hukumonline dengan tema Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce berdasarkan PP 80 Tahun 2019 (PMSE). Foto: RES

Pemerintah secara resmi mengeluarkan aturan terbaru tentang e-commerce di penghujung tahun 2019. PP No.80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) ini mengatur banyak hal terkait perdagangan e-commerce yang selama ini belum diatur oleh pemerintah. Salah satu dari banyak hal yang diatur dalam PP E-commerce adalah soal pelaku usaha luar negeri.

 

Dalam sebuah seminar bertajuk “Implementasi Kebijakan Terbaru E-Commerce Berdasarkan PP No.80 Tahun 2019 (PMSE)” yang diadakan oleh Hukumonline di Jakarta, Selasa (28/1), beberapa persoalan terungkap. Peserta seminar yang rata-rata merupakan pelaku usaha e-commerce mempertanyakan sejumlah hal, termasuk soal perizinan, pelaku usaha luar negeri dan threshold.

 

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan (Kemendag), I Gusti Ketut Astawa, menyampaikan bahwa beberapa hal yang belum diatur secara eksplisit di dalam PP E-commerce akan diatur pada peraturan turunannya yakni Peraturan Menteri Perdagangan. Ketut mengaku saat ini pihaknya tengah melakukan penyusunan draft dan pembahasan yang akan dimulai pada Februari mendatang.

 

Setidaknya terdapat sembilan amanat dari PP E-Commerce yang akan dimasukan dalam Permendag E-Commerce, di antaranya terkait perizinan meliputi bagaimana perizinan, siapa yang wajib izin, bagaimana proses perizinan, threshold, iklan elektronik, pembinaan PMSE, mekanisme pengawasan PMSE, permintaan data dan/atau informasi perusahaan dalam rangka pembinaan dan pengawasan, serta mekanisme pengenaan sanksi administratif. Sementara masukan-masukan lain dari stakeholder akan dipertimbangkan untuk dimasukan ke dalam Permendag E-Commerce.

 

“Ada 9 amanah sebenanarnya seperti perizinan, bagaimana perizinan, threshold-nya, pola pembinaan terhadap pedagang, pola pengawasan. Nah ini yang akan diturunkan,” kata Ketut.

 

Dalam proses pembahasannya nanti, Ketut juga memastikan jika pihaknya akan melibatkan seluruh stakeholder dan lintas kementerian. Hal ini bertujuan agar Permendag yang terbit dapat langsung diimplemantasikan tanpa menimbulkan perdebatan di kemudian hari.

 

“Pemerintah mendengarkan dan melakukan diskusi bersama stakeholder bareng-bareng, artinya saat susun Permendag melibatkan semua pihak sehingga Permendag nanti tidak lagi ditanyakan tapi langsung diimplementasikan. Oleh karena itu melibatkan pelaku usaha sangat penting, jangan sampai Permendag keluar tapi pertanyaan masih banyak,” imbuhnya.

 

(Baca: Pelaku Usaha Dukung Kebijakan Baru Bea Masuk Impor E-Commerce)

 

Rencananya, pembahasan Permendag akan dimulai pada Februari dengan target selesai pada April dan bisa diimplementasikan pada Mei nanti. “Target April selesai, minimal sudah harmoisasi di Kemenkumham, setelah itu Mei sudah keluar. Sosialisasi akan kita perbanyak sehingga pada saat penerapan tidak kaget teman- teman e-commerce untuk mengimplementasikan,” tambahnya.

 

PP E-Commerce merupakan amanat dari Pasal 66 UU Perdagangan dengan mempertimbangkan UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen. Ketut menjelaskan e-commerce yang diatur dalam PP tersebut bukan hanya terkait electronic dan commerce, tetapi juga logistik, payment, dan lain-lain, sehingga pengembangannya perlu pendekatan komprehensif (berbasis ekosistem), bukan parsial (berbasis sektoral).

 

Partner pada AKSET Law, Abadi Abi Tisnadisastra, menambahkan bahwa selain bagian dari amanat UU Perdagangan, PP E-commerce lahir untuk memberikan kepastian hukum dan menciptakan terselenggaranya sistem perdagangan elektronik yang adil dan transparan, mencakup seluruh kegiatan perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan sistem komunikasi elektronik.

 

Selain itu, PP E-commerce juga memberikan perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik. Namun Abi menyoroti persoalan perlindungan data pribadi dalam transaksi elektronik. Sejauh ini Indonesia belum memiliki UU Perlindugan Konsumen yang bersifat komprehensif, belum adanya official guideline terkait interpretasi istilah atau konsep perlindungan data pribadi, dan tidak adanya badan pengawas independen terkait perlindungan data pribadi. Perlindungan data pribadi dalam PP E-commerce diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2).

 

Dalam implementasinya, Abi juga menilai terdapat sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia terkait pertumbuhan industri e-commerce di era ekonomi digital. Misalnya, memperbaiki dan menginiasiasi pemerataan infrastruktur seperti internet connection, logistic, dan digital payment. Di samping itu, pemerintah juga ditantang untuk memiliki kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian hukum dan kondusif guna mendukung industri e-commerce.

 

“PP 80/2019 merupakan sebuah peraturan yang bersifat komprehensif serta akan membawa banyak perubahan terhadap industri e-commerce di Indonesia,” jelasnya.

 

Namun demikian, Abi menyebut masih terdapat beberapa ketentuan yang harus diklarifikasi oleh peraturan pelaksana dan/atau pemerintah terkait dengan penerapannya. Dan hal yang tak kalah penting adalah perlunya sosialisasi dengan para stakeholder baik pelaku bisnis, asosiasi dan institusi pemerintah terkait.

 

Abi berharap PP E-commerce dan peraturan-peraturan pelaksananya dapat mencapai keseimbangan seperti melindungi ekosistem e-commerce dan juga tidak over-regulate sehingga tidak menghambat perkembangan industri.

 

Tags:

Berita Terkait