8 Usulan Koalisi untuk Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme
Berita

8 Usulan Koalisi untuk Perpres Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme

Pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme merupakan pilihan yang terakhir (last resort).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pemerintah telah menyerahkan draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Hal tersebut sebagaimana mandat penjelasan pasal 43I UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebut pembentukan Perpres ini dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR.

Sejak awal, rancangan Perpres ini menuai protes dari koalisi organisasi masyarakat sipil seperti KontraS, Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI, HRWG, Amnesty International Indonesia, ICW, dan LBH Jakarta. Sekjen PBHI, Julius Ibrani, menyebut koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk membahas rancangan Perpres itu secara terbuka dan partisipatif.

Keterlibatan masyarakat penting karena menentukan arah dan substansi politik hukum pengaturan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di negara demokrasi. Julius mencatat rancangan Perpres ini memuat pasal yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi misalnya pelibatan TNI dalam menangani terorisme tidak sesuai mandat pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pasal 7 ayat (3) UU TNI mengatur operasi militer selain perang (OMSP) yang salah satu tujuannya untuk mengatasi terorisme, dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Tapi dalam rancangan Perpres pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan melalui keputusan Preisden tanpa ada pertimbangan DPR. (Baca: Publik Kritisi “Penetrasi” TNI dalam Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)

“Penjelasan pasal 5 UU No.34 Tahun 2004 tegas menyebut yang dimaksud kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah dan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan,” kata Julius ketika di konfirmasi, Jumat (2/10).

Masalah lain yang disorot koalisi terkait sumber anggaran, Perpres mengatur sumber anggaran yang bisa digunakan untuk pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme bisa berasal dari luar APBN seperti APBD dan anggaran lain. Julius menyebut ketentuan ini bertentangan dengan pasal 66 ayat (1) UU No.34 Tahun 2004 yang menegaskan TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari APBN. Pendanaan di luar APBN berpotensi menimbulkan penyimpangan dan beban anggaran baru bagi daerah.

Pengaturan kewenangan TNI menjalankan fungsi penangkalan dalam mengatasi terorisme dinilai terlalu luas karena akan dijalankan dengan operasi intelijen, teritorial, informasi, dan operasi lainnya. Sayangnya rancangan Perpres ini tidak memberi penjelasan rinci terkait apa yang dimaksud dengan operasi lainnya. Dengan kewenangan ini TNI memiliki kewenangan yang luas daripada semestinya sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.

Menurut Julius, penangkalan tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 2018, yang ada istilah pencegahan yang tugasnya diberikan kepada BNPT, bukan TNI. “Kewenangan penangkalan TNI seharusnya dihapus dalam rancangan Perpres ini,” usulnya.

Selain itu rancangan Perpres juga memberikan kewenangan yang luas dalam hal penindakan sebagaimana tertuang dalam pasal 9 rancangan Perpres. Julius mengatakan pemberian kewenangan luas dan mandiri dalam penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada Presiden, obyek vital, dan lainnya dinilai akan merusak mekanisme sistem peradilan pidana. Secara prinsip, tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme seharusnya ditujukan untuk menghadapi ancaman terorisme di luar negeri seperti pembajakan kapal atau pesawat Indonesia di luar negeri atau operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri.

Koalisi berpendapat penanganan tindak pidana terorisme di dalam negeri harus diletakkan dalam koridor sistem peradilan pidana. Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme di dalam negeri sifatnya perbantuan kepada aparat penegak hukum. “Pelibatan TNI dilakukan jika kapasitas hukum sudah tidak mampu lagi mengatasi eskalasi teror yang tinggi dan bersifat nyata (imminent threat), pelibatan itu merupakan pilihan terakhir (last resort) dan harus melalui keputusan politik negara,” ujar Julius.

Pelibatan TNI dalam menangani terorisme di dalam negeri menurut Julius tidak dapat dilakukan secara mandiri dan langsung sebagaimana dimaksud dalam rancangan Perpres ini, tapi menjadi bagian dari kendali di bawah operasi yang dilakukan aparat penegak hukum. Operasi militer selain perang dalam mengatasi kejahatan terorisme dapat dilakukan secara langsung oleh militer dan tidak berada di bawah kendali operasi penegakkan hukum jika kondisinya darurat militer.

Sedikitnya ada 8 hal yang diusulkan koalisi terkait rancangan Perpres. Pertama, pelibatan militer dalam seluruh tugas operasi militer selain perang dalam mengatasi terorisme harus melalui keputusan politik negara sesuai UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Kedua, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tidak perlu memiliki kewenangan penangkalan dan pemulihan sebagaimana di maksud dalam rancangan Perpres. Ketiga, pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme harus bersifat nyata (imminent threat) dan dalam eskalasi ancaman yang tinggi di mana kapasitas aparat penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi ancaman terorisme yang terjadi.

Keempat, pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme merupakan pilihan yang terakhir (last resort). Kelima, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme harus tunduk dalam sistem peradilan umum jika terjadi kesalahan operasi, bukan mekanisme peradilan militer. Keenam, pengaturan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain. Ketujuh, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di dalam negeri dilakukan dalam kerangka tugas perbantuan militer kepada pemerintah (kepolisian). Kedelapan, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sifatnya sementara dalam waktu tertentu, harus proporsional, dan dilakukan dengan kebutuhan yang nyata.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan hal paling penting yang perlu diatur yakni dalam skema dan konteks seperti apa pelibatan TNI dilakukan untuk menangani terorisme. Selain itu pelibatan TNI dalam menangani terorisme harus berbasis skala ancaman. Menurutnya lembaga yang tepat untuk menetapkan skala ancaman itu BNPT. Penangkalan yang dilakukan TNI juga harus berada di bawah koordinasi BNPT.

Dalam rancangan Perpres yang diserahkan ke DPR, Arsul menilai isinya menyimpang dari politik hukum yang ada dalam UU No.5 Tahun 2018. Sulit membedakan peran TNI dengan BNPT, padahal UU No.5 Tahun 2018 memperkuat posisi BNPT. “Dalam UU No.5 Tahun 2018 BNPT sebagai leading sector dalam melakukan pencegahan, tapi membaca rancangan Perpres malah tidak jelas siapa leading sector nya,” papar politisi PPP itu.

Tags:

Berita Terkait