8 Ancaman PP Bank Tanah Terhadap Reforma Agraria
Utama

8 Ancaman PP Bank Tanah Terhadap Reforma Agraria

Kalangan organisasi masyarakat sipil masih mengkaji PP No.64 Tahun 2021 ini. Jika sudah selesai dikaji bisa saja keputusannya nanti mengajukan uji materi ke MA.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi tanah telantar yang bisa dikelola Bank Tanah sebagai tanah negara.
Ilustrasi tanah telantar yang bisa dikelola Bank Tanah sebagai tanah negara.

Pemerintah telah menerbitkan PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sama halnya seperti peraturan pelaksana UU Cipta Kerja lain, beleid yang diterbitkan 29 April 2021 ini mendapat sorotan dari organisasi masyarakat sipil karena substansinya bermasalah.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan gagasan bank tanah sudah tertuang dalam RUU Pertanahan tahun 2019. Menurut Dewi, gagalnya pengesahan RUU Pertanahan membuat pemerintah mengubah cara memasukan bank tanah melalui RUU Cipta Kerja. Sejak awal, RUU Pertanahan dan RUU Cipta Kerja bergulir kalangan organisasi masyarakat sipil termasuk KPA sudah menolak usulan lembaga Bank Tanah ini. 

Secara umum, Dewi menilai Bank Tanah tidak ditujukan untuk menyelesaikan konflik agraria secara tuntas dan melaksanakan program reforma agraria, tapi justru memberi kemudahan penguasaan tanah bagi badan usaha dan investor termasuk untuk proyek pemerintah. Dewi menyoroti sedikitnya 5 hal dalam PP yang dinilai mengancam pelaksanaan reforma agraria itu.

Pertama, Bank Tanah mengadopsi asas domein verklaring (negaraisasi tanah) dan menyelewengkan hak menguasai dari negara. Asas ini dapat dilihat dari cara kerja Bank Tanah yang melihat tanah sebagai milik negara. Bahkan, dipersempit lagi menjadi milik pemerintah. Praktik domein verklaring ini digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengakuisisi tanah masyarakat dan asas ini sudah dihapus UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Asas domein verklaring menganggap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap tidak ada penguasaan hak di atasnya, maka otomatis tanah negara. Menurut Dewi, asas ini menyimpang karena seolah negara cq pemerintah memiliki pemilikan absolut atas tanah. Dari hasil penetapan tanah negara oleh pemerintah selanjutnya tanah akan dijadikan hak pengelolaan (HPL) dan dimasukan sebagai sumber tanah bagi Bank Tanah.

“Artinya baik omnibus law (UU Cipta Kerja, red) maupun PP Bank Tanah telah melanggar UUD RI 1945 dan UU Pokok-Pokok Agraria, termasuk putusan MK tentang hak menguasai negara,” kata Dewi Kartika dalam diskusi secara daring, Minggu (23/5/2021) kemarin. (Baca Juga: Ahli Hukum Pertanahan UGM: Pengaturan Bank Tanah Bermasalah)

Kedua, liberalisasi pasar tanah dan kemudahan badan usaha asing menguasai tanah. Dewi melihat Bank Tanah tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat kecil atas tanah. Seperti termaktub Pasal 19 PP No.64 Tahun 2021, Bank Tanah menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan dalam rangka peningkatan ekonomi dan investasi. Beleid ini berkaitan dengan PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan dimana tanah negara, salah satunya adalah tanah masyarakat yang belum bersertifikat dan tidak dapat dibuktikan kepemilikannya.

Dia menilai PP No.64 Tahun 2021 melihat tanah sebagai komoditas yang mudah diperjualbelikan dan dimonopoli sekelompok orang, terutama pemilik modal. Padahal, UU Pokok-Pokok Agraria memandatkan adanya fungsi sosial atas tanah dan melarang monopoli atas tanah oleh pihak swasta. Bagi Dewi, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya membelokkan peran negara yang seharusnya menjamin hak atas tanah untuk rakyat miskin dan mencegah monopoli swasta.

Ketiga, memperparah ketimpangan, konflik agraria, dan perampasan tanah masyarakat. Bank Tanah memperkuat pengadaan tanah bagi kelompok bisnis dan pemodal, termasuk praktik monopoli dan negaraisasi tanah. Hal tersebut melebarkan ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dengan badan usaha dan negara. Dengan menggunakan asas domein verklaring, sistem hak pengelolaan akan menambah parah konflik agraria. Tahun 2020, KPA mencatat ada 241 konflik agraria struktural yang berdampak terhadap lebih dari 135 ribu keluarga di 359 desa/kota.

“Proses perolehan tanah oleh Bank Tanah berpotensi kuat tumpang tindih dengan wilayah hidup masyarakat. Sumber tanah Bank Tanah banyak berasal dari tanah yang seharusnya diprioritaskan untuk rakyat dalam kerangka reforma agraria,” bebernya.

Keempat, memudahkan perampasan tanah dengan dalih pengadaan tanah untuk kepentingan investasi. Dewi berpendapat revisi UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum melalui UU Cipta Kerja dan PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan memperkuat posisi Bank Tanah. Misalnya, revisi UU Pengadaan Tanah memperluas definisi kepentingan umum yang menjadi salah satu tujuan Bank Tanah dan PP Hak Pengelolaan menjadi pendukung sumber tanah bagi Bank Tanah.

Dewi menilai Bank Tanah sebagai lembaga jenis baru karena kekayaan Bank Tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, tapi Bank Tanah bentuknya bukan BUMN. Pasal 3 ayat (2) PP No.64 Tahun 2021 mengatur Bank Tanah dapat melakukan fungsi publik (pengaturan) dan privat (kerja sama). Bank Tanah juga bisa membentuk badan usaha atau badan hukum dalam mendukung kegiatan usahanya.

Kelima, tujuan Bank Tanah bertentangan dengan reforma agraria. Kendati PP No.64 Tahun 2021 memasukan reforma agraria sebagai salah satu yang diamanatkan untuk dijamin ketersediaan tanahnya oleh Bank Tanah, tapi menurut Dewi hal ini sebagai bentuk penyelewengan reforma agraria. Reforma agraria dimasukkan dalam PP tersebut hanya untuk menutupi misi liberalisasi pertanahan.

“Dicantumkannya reforma agraria dalam beleid ini tidak akan memberikan dampak terhadap tahapan reforma agraria. Ini adalah muslihat Bank Tanah untuk mengambil alih pengelolaan tanah-tanah yang selama ini diwajibkan menjadi obyek reforma agraria,” paparnya.

Keenam, Bank Tanah menimbulkan dualisme, tumpang tindih, dan konflik kepentingan dengan Kementerian ATR/BPN dalam pengaturan pertanahan dan pengadaan tanah. Dewi khawatir Bank Tanah dengan kewenangannya yang besar ini ditujukan sebagai sekoci baru bagi pensiunan pejabat agraria, politisi, dan pebisnis.

Melihat dari kewenangan dan fungsi Bank Tanah, Dewi melihat ada tumpang tindih dengan kewenangan Kementerian ATR/BPN. Bank Tanah menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang selama ini seharusnya dijalankan Kementerian ATR/BPN. Kewenangan Bank Tanah antara lain mengatur urusan agraria mulai dari perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Ketujuh, Bank Tanah berpotensi menjadi lahan subur praktik korupsi dan kolusi. Bagi Dewi, ini bisa terjadi karena Bank Tanah punya kewenangan dan fungsi yang luas. Bank Tanah bisa melegalkan kesalahan dalam penggunaan kewenangan dengan alasan penanganan masalah pertanahan. Misalnya, Menteri ATR/BPN dapat memutihkan HGU terlantar atau yang berkonflik dengan petani dan masyarakat hukum adat dengan cara memberikan kemudahan proses pengakuan hukum kepada perusahaan yang membutuhkan tanah tersebut.

Mekanisme kerja Bank Tanah juga berpotensi abuse of power karena audit pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan Bank Tanah dilakukan oleh akuntan publik swasta. “Celakanya, Pasal 47 ayat (2) PP Badan Bank Tanah mengatur akuntan publik tersebut dipilih oleh Dewan Pengawas atas usulan Kepala Bank Tanah. Hal ini tentunya patut dipertanyakan karena berpotensi menimbulkan conflict of interest.

Delapan, filosofi dan konstruksi hukum Bank Tanah tidak jelas. Dewi berpendapat UU No.11 Tahun 2020 tidak memberi penjelasan filosofi, landasan hukum, asas/prinsip, konsepsi, dan konstruksi hukum tentang Bank Tanah. Gagasan Bank Tanah berasal dari substansi RUU Pertanahan yang gagal disahkan tahun 2019 lalu karena diprotes masyarakat. Substansi itu disalin utuh dalam UU No.11 Tahun 2020 dengan dalih “menciptakan norma baru.” Padahal, prinsip penyusunan omnibus law harus ada UU induknya yang akan direvisi, dihapus dan/atau ditambah pasal-pasalnya.

Dewi menyebut kalangan organisasi masyarakat sipil masih mengkaji PP No.64 Tahun 2021 ini, sehingga belum menentukan langkah hukum yang akan ditempuh. Tapi, sementara upaya yang akan dilakukan mendesak pemerintah untuk mencabut PP tersebut. “Jika sudah selesai dikaji disepakati bersama apa langkah hukum yang akan ditempuh, bisa saja nanti mengajukan uji materi ke MA,” ujarnya. (Baca Juga: Tantangan Mewujudukan Reforma Agraria)

Sebelumnya, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra, mengatakan setidaknya ada 5 PP yang memberi pemahaman secara menyeluruh terkait agraria. Kelima PP itu meliputi PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah; PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; PP No.20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar; PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.

Surya juga menyebut lembaganya bergegas melaksanakan reforma agraria sebagai bentuk dukungan terhadap Program Strategis Nasional. Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria mengatur reforma agraria sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

“Ini termasuk pemberdayaan dan tujuannya untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan. Diharapkan menjadi pilar penguat untuk pembangunan sekaligus pemerataan ekonomi dan mencegah konflik,” katanya sebagaimana dikutip laman atrbpn.go.id, Kamis (20/5/2021) kemarin.

Tags:

Berita Terkait