7 Usulan Penataan Regulasi Nasional
Berita

7 Usulan Penataan Regulasi Nasional

JDIH merupakan bukti kehadiran negara.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi penyusunan Undang-Undang dalam sidang di DPR . Foto: RES
Ilustrasi penyusunan Undang-Undang dalam sidang di DPR . Foto: RES

Pemerintah dan DPR perlu melakukan penataan peraturan perundang-undangan. Perubahan yang telah dilakukan dengan merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi UU No. 15 Tahun 2019 belum sepenuhnya mengadopsi penataan regulasi yang komprehensif.

Penataan regulasi diarahkan pada penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan, penguatan analisis dan evaluasi peraturan, serta penguatan basis data peraturan perundang-undangan melalui sistem jaringan informasi dan dokumentasi hukum.

Sehubungan dengan itu, ahli ilmu perundang-undangan Bayu Dwi Anggono menyampaikan 7 gagasan penataan perundang-undangan nasional. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember itu mengatakan ketujuh langkah berikut perlu dilakukan untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik.

Pertama, perlu mengadopsi secara resmi program penataan peraturan perundang-undangan di tingkat politik negara dengan menetapkan tujuan dan kerangka yang jelas agar dapat diimplementasikan. Dengan kata lain perlu ada dukungan politik terhadap penataan regulasi yang berkesinambungan dan dapat dilaksanakan.

Kedua, melakukan penataan terhadap jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Selama ini, menurut Bayu, ketaatan pada jenis, hierarki dan materi muatan belum sepenuhnya dijalankan. Padahal, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 adalah kesesuaian antara jenis, hiererki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh yang marak saat ini adalah Surat Edaran (SE). SE bukanlah peraturan perundang-undangan, tetapi saat ini banyak SE yang materi muatannya adalah materi muatan peraturan perundang-undangan.

(Baca juga: Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan).

Ketiga, melakukan perbaikan pada proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewajiban harmonisasi semua peraturan perundang-undangan bukan hanya pada Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan Rancangan Perpres, tetapi juga jenis peraturan perundang-undangan lain. Harmonisasi sangat penting dilakukan agar tidak ada saling tumpang tindih dan pertentangan.

Keempat, jaminan implementasi partisipasi publik dalam peraturan perundang-undangan melalui melalui pedoman formal. Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 menjamin partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara lisan maupun tertulis. Menurut Bayu, belum ada pedoman khusus partisipasi publik. Perlu diberikan waktu yang cukup bagi publik untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu harus ada jaminan bahwa partisipasi publik itu terdokumentasi dengan baik dan menjadi bahan pertimbangan, bukan sekadar formalitas.  

Kelima, adopsi analisis dan evaluasi untuk semua jenis peraturan perundang-undangan, tidak hanya jenis Undang-Undang. UU No. 15 Tahun 2019 menggunakan istilah ‘pemantauan dan peninjauan’. Cuma, seperti dikritik Bayu, hanya disinggung pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang. Pemantauan dan peninjauan oleh DPR, DPD dan Pemerintah dilakukan setelah Undang-Undang berlaku.

(Baca juga: Perlu Dipahami! Pemerintah Tetapkan 5 Dimensi Penataan Regulasi Nasional).

Keenam, adopsi atau pembentukan lembaga khusus yang bertanggung jawab dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Lembaga khusus ini bertugas mengurus dari huku sampai hilir pembentukan peraturan perundang-undangan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang memiliki lembaga khusus dimaksud.

Ketujuh, menyelenggarakan judicial review satu atap di Mahkamah Konstitusi. Indonesia menggunakan sistem dua atap dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD. Kamar lain, Mahkamah Agung, berwenang menguji jenis peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Penyatuan atap perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada jenis peraturan perundang-undangan apapun yang bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, sangat mungkin Peraturan Daerah (Perda), misalnya, bertentangan dengan UUD 1945.

Kehadiran Negara

Berkaitan dengan penataan regulasi, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), HR Benny Riyanto, mengatakan pemerintah telah melakukan banyak hal, salah satunya membangun jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH). Pedoman pengelolaan JDIH nasional itu diatur dalam Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Informasi dan Dokumentasi Hukum.

JDIH pada dasarnya adalah sarana penyediaan dan pemberian pelayanan informasi hukum di lingkungan pemerintah. Menurut Benny Riyanto, JDIH adalah wujud kehadiran negara untuk melayani kebutuhan warga negara. “Ini sebagai wujud negara hadir mencerdaskan hukum bagi masyarakatnya,” ujar Guru Besar Universitas Diponegoro itu dalam diskusi bedah buku Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia’, Sabtu (14/11).

Dijelaskan pula bahwa JDIH bukan hanya melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi juga dapat dimanfaatkan kalangan perguruan tinggi. Lebih dari 60 perguruan tinggi yang sudah menjadi anggota jaringan tersebut. Sekitar 45 ribu dokumen hukum sejak zaman Belanda hingga produk terbaru sudah tersedia di JDIH. “JDIH akan kami jadikan semacam google-nya hukum Indonesia,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait