7 RPP Ini Penting Bagi Penyandang Disabilitas
Berita

7 RPP Ini Penting Bagi Penyandang Disabilitas

Menyangkut isu akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan dan unit layanan disabilitas ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penyandang disabilitas. Foto: RES
Penyandang disabilitas. Foto: RES

UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan pemerintah untuk menerbitkan sejumlah peraturan teknis. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mencatat peraturan teknis itu terdiri dari 15 Peraturan Pemerintah (PP), tapi pemerintah meringkasnya menjadi 7 PP. Koalisi organisasi penyandang disabilitas yang tergabung dalam Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas sudah menyodorkan draft alternatif untuk setiap RPP kepada pemerintah.

Pertama, rancangan PP (RPP) tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Kedua, RPP tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan. Ketiga, RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.

Keempat, RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi. Kelima, RPP tentang Pemenuhan Hak Atas Pemukiman, Pelayanan Publik. Keenam, RPP tentang Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan. Ketujuh, RPP tentang Konsesi dan Insentif Dalam Penghormatan, Perlindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Mengenai RPP tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, Fajri mengatakan pendekatan yang digunakan adalah perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. Ini meliputi praktik beracara pidana mulai dari proses penyelidikan sampai peradilan. Misalnya, aparat penegak hukum harus menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang menjadi pelaku dan korban. "Tidak hanya berhenti sampai proses peradilan, tapi setelah itu pemerintah harus melakukan rehabilitasi bagi korban yang merupakan penyandang disabilitas," kata Fajri dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (28/2).

(Baca juga: Tiga Alasan Penolakan PP ‘Sapu Jagat’ di UU Penyandang Disabilitas).

RPP itu juga mengatur kewajiban pendampingan terhadap penyandang disabilitas baik sebagai pelaku dan korban. Ada 2 pendamping yaitu penasihat atau pendamping hukum, dan pendamping khusus penyandang disabilitas. Aparat penegak hukum harus memastikan penyandang disabilitas memiliki 2 pendamping itu. Tapi perlu diingat pendamping khusis penyandang disabilitas itu tidak bisa bertindak mewakili penyandang disabilitas yang didampinginya.

Kemudian, RPP mengatur ada penilaian terhadap individu penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum untuk melihat apa kebutuhan khususnya. Misalnya, untuk penyandang disabilitas netra, untuk menunjukkan sebuah dokumen harus dibacakan atau diubah menjadi format braile.

Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Ariani Indrawati, menjelaskan RPP yang berkaitan dengan pendidikan, menurutnya UU Penyandang Disabilitas menginstruksikan agar sistem pendidikan nasional menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk semua jalur pendidikan. Dia melihat leading sector untuk RPP ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi untuk pendidikan tinggi harus melibatkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Serta memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.

Menurut Aria, Kemendikbud ingin mengatur lebih teknis lagi RPP itu dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Koalisi menolak usulan itu karena menilai posisi PP lebih kuat daripada Permen. "Kami ingin semua hal teknis itu dimasukkan dalam RPP," ujarnya.

(Baca juga: PN Jakarta Selatan Kabulkan Gugatan Penyandang Disabilitas).

Untuk RPP tentang Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan, Aria menyebut ketentuan yang diatur meliputi pekerjaan sektor formal dan informal. Itu penting karena daya serap sektor formal masih rendah. Dari informasi yang diterimanya Aria menyebut pihak Kementerian Ketenagakerjaan mulai membahas RPP tersebut.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (DPP Gerkatin), Bambang Prasetyo, mengatakan UU Penyandang Disabilitas mengatur kuota untuk penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas pada lembaga pemerintah, BUMN dan BUMD sebesar 2 persen dari jumlah pekerja, untuk perusahaan swasta 1 persen.

Menurut Bambang organisasi penyandang disabilitas jangan hanya fokus pada kuota tersebut karena ada masalah lanjutan sekalipun penyandang disabilitas bisa terserap lapangan kerja yakni mengenai sistem kerja kontrak atau outsourcing. Melalui mekanisme itu penyandang disabilitas tidak bisa bekerja sampai pensiun karena kontrak kerjanya akan berakhir dalam  periode waktu yang sudah ditentukan.

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti, memaparkan RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi. Dia menjelaskan kesejahteraan sosial yang dimaksud yaitu segala upaya yang dilakukan untuk membantu penyandang disabilitas mampu mandiri. Bentuknya berupa program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas. Misalnya, penyandang disabilitas yang tidak bekerja mendapat bantuan biaya hidup. Atau bisa juga program perumahan rakyat yang bisa diakses penyandang disabilitas.

Dalam konteks habilitasi dan rehabilitasi, Yeni mengatakan RPP perlu menghadirkan terobosan untuk panti sosial yang ada saat ini yang kondisinya mirip penjara. Upaya itu perlu melibatkan partisipasi masyarakat dan pemerintah secara aktif. Menurutnya masyarakat internasional menyoroti buruknya penanganan yang dilakukan Indonesia terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu pengelolaan lembaga rehabilitasi yang selama ini berjalan harus dibenahi total.

Yeni melihat ada anasir Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan HAM bakal memangkas banyak pasal dalam RPP tentang Kesejahteraan Sosial, Habilitasi dan Rehabilitasi. Draft RPP yang diajukan koalisi memuat banyak pasal yang dianggap terlalu teknis. Misalnya, koalisi mengusulkan penyandang disabilitas di panti sosial tidak boleh digunduli, tidak dimandikan secara massal di pemandian umum dan petugas perempuan mengurusi penyandang disabilitas perempuan, begitu pula dengan petugas pria, menangani penyandang disabilitas pria. "Jika pasal yang dipangkas nanti berkenaan dengan perlindungan penyandang disabilitas di panti sosial, ini akan berbahaya," tukas Yeni.

Staf Ahli Kedeputian V KSP, Sunarman Sukamto, mengatakan Presiden Joko Widodo sudah memprioritaskan RPP penyandang disabilitas, Komisi Penyandang Disabilitas (KND), dan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD) untuk segera dituntaskan. Presiden sudah menginstruksikan KSP untuk melakukan percepatan terhadap berbagai isu tersebut dan ditargetkan selesai tahun 2018. "Isu penyandang disabilitas ini menjadi target prioritas Presiden Joko Widodo untuk segera diselesaikan," urainya.

Pria yang disapa Maman itu menjelaskan 5 dari 7 RPP sudah masuk dalam program penyusunan (progsun) di Bappenas. Artinya, anggaran untuk membahas RPP itu sudah ada dan bisa langsung dikerjakan. RPP tersebut pada intinya harus mampu menjawab kebutuhan riil para penyandang disabilitas.

Tags:

Berita Terkait